Pemilu2009 Polkam Ekonomi Sosbud Hukum dan Kriminal Kesehatan Teknologi Mancanegara Nusantara Fiksi Non Fiksi
Fokus Patroli News On TV Extra Horison Teropong Jejak Kasus Hati Nurani Kisi-kisi
Liputan Utama Magic Brain News On Dotcom Extra Sapa Kata Profil Buku Anda Perlu Tahu Cermin Berita Foto lomba cermin 2008 Selera RSS FEED
Kesehatan
9-Oct-2007 11:02:42 WIB
ANDA PERLU TAHU
Sapi Gila dalam Makanan Kemasan ?
Berita HOT:
Akhir-akhir ini, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri, kebutuhan akan daging sapi olahan semakin meningkat. Namun masyarakat merasa diresahkan dengan maraknya penjualan daging sapi olahan yang mengandung penyakit. Sayangnya, 'perburuan' terhadap makanan yang belum terjamin bebas dari penyakit pada saat kebutuhan akan daging meningkat, masih belum terpadu.
Sebagian makanan daging olahan yang mengandung "penyakit", dikemas dalam kalengan. Keberadaannya, mudah ditemukan pada kantung-kantung tempat perbelanjaan, baik swalayan ataupun tradisional. Penyakit yang disinyalir terdapat dalam daging kalengan itu adalah sapi gila. Dan inilah yang menjadi momok ketakutan masyarakat akan penyakit satu ini.
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform encephalopathy/BSE) terjadi pada sapi dewasa, yang menyerang sistim syaraf otak dan medulla spinalis dan bersifat fatal (fatal neurological disease). Penyakit ini selain menyerang sapi, juga dapat berjangkit pada manusia dalam bentuk creutzfeldt jakob disease (pengerutan otak) melalui konsumsi daging maupun produk turunan dari sapi yang terinfeksi.
BSE merupakan penyakit yang disebabkan oleh sejenis protein prion (Prion Protein/PrP) dan dikategorikan kedalam golongan Transmissiblle Spongiform Encephalopathy (TSE). Prion, protein (PrP) atau biasa disebut prion adalah sejenis protein yang diperoleh dari jaringan otak binatang yang terkena penyakit radang otak yang tidak diketahui sebabnya yang disebut bovine spongiform encephalopathy.
Prion bukan benda hidup yang lengkap layaknya bakteri, virus ataupun protozoa. Prion dapat dibedakan dari virus atau viroid karena tidak memiliki asam nukleat dan oleh karenanya dia tahan terhadap semua prosedur yang bertujuan mengubah atau menghidrolisa asam nukleat termasuk ensim protease ,sinar ultraviolet, radiasi dan berbagai zat kimia seperti deterjen, zat yang menimbulkan denaturasi protein seperti obat disinfektan atau pemanasan/perebusan.
Kemampuannya memperbanyak diri melalui mekanisme yang belum diketahui, cukup mengherankan. Prion sampai sekarang dianggap sebagai benda yang bertanggung jawab terhadap kejadian ensefalopati pada penyakit sapi gila (BSE), Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD), Gerstmann-Straussler Syndrome dan penyakit Kuru, sejenis penyakit kelumpuhan yang timbul pada keluarga tertentu.
Gejala yang dimiliki sama, yaitu jaringan otaknya mengalami degenerasi menjadi benda yang berlubang kecil seperti layaknya karet busa atau spons dan oleh karena itu disebut sebagai spongiform encephalopathy. Bersamaan dengan kondisi itu, gangguan pergerakan anggota tubuh/kelumpuhan yang terjadi yang semakin lama semakin berat dan akhirnya menimbulkan kematian.
Sebenarnya, struktur gene Prion telah ditemukan. Bahwa pada binatang yang terinfeksi maupun pada percobaan inokulasi prion maka akan terjadi penumpukan prion pada jaringan otak. Prion diduga menyebar melalui dan di dalam jaringan saraf. Kesenjangan pengetahuan tentang biologi molekuler prion dan patogenesis penyakit yang disebabkannya, sampai sekarang masih besar dan secara intensif sedang dilakukan penelitian untuk memperkecil kesejangan itu.
Potensi infeksi
Pada tahun 1999, suatu varian baru CJD (vCJD) muncul dan dikaitkan keberadaannya dengan penyakit sapi gila. Meskipun demikian sampai sekarang belum ada bukti yang terdokumentasi bahwa infeksi prion pada manusia terjadi akibat penularan prion dari binatang.
Sampai sekarang hanya manusia yang diyakini sebagai reservoir Creutzfeldt-Jakob Disease. Dalam catatan kepustakaan, penularan CJD dari manusia ke manusia dapat terjadi pada penggunaan alat yang tidak steril dari prion, misalnya pernah dilaporkan pada operasi transplantasi kornea mata, dan penggunaan elektroda perak pada stereotaktik elektroensefalografi.
Di dalam penelitian di laboratorium, jaringan otak, cairan otak dan sumsum tulang belakang yang mengandung prion akan terus menularkan penyakit tersebut apabila diberikan kepada primata dan hewan lainnya.
Penularan prion yang terkait CJD sampai sekarang masih sulit dikontrol melalui sterilisasi karena sifatnya yang tahan terhadap cara-cara sterilisasi biasa termasuk merebus dalam air sampai mendidih, memberikan radiasi ultraviolet, radiasi pengion, alkohol 70%, dan formalin 10%.
Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD) dan varian CJD
Gejala CJD diawali perlahan-lahan dengan munculnya kebingungan, kemudian timbul kepikunan yang progresif , lalu timbul kesulitan berjalan.serta gemetaran . Selanjutnya penyakit menyerang dengan cepat dan kematian biasanya terjadi dalam 3 ? 12 bulan, dengan rata-rata 7 bulan.
Penyakit CJD telah dilaporkan oleh berbagai negara di dunia, antara lain Amerika Serikat, Chili, Slovakia dan Israel. Tetapi pada pertengahan tahun 1999 telah dilaporkan lebih dari 40 kasus mirip CJD yang dikenal sebagai variant Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD) dan hampir semua kasus berasal dari Inggris, negara dimana dalam 10 tahun sebelumnya terjadi wabah BSE yang menimpa ribuan sapi.
Keprihatinan yang timbul disebabkan kemungkinan penularan CJD karena mengkonsumsi daging sapi yang terkena infeksi prion menyebabkan dilakukannya penelitian epidemiologi secara besar-besaran.
Hasil penelitian sampai saat ini menyatakan bahwa varian baru CJD mungkin memang ada. Penyakit itu yang dikenal cebagai vCJD, dilaporkan muncul di Inggris dan beberapa negara Eropa. Akan tetapi sebenarnya CJD dan vCJD adalah dua hal yang berbeda, karena tidak seperti CJD yang menyerang orang-orang usia lanjut (60 - 80 tahun, dan lebih dari 99% menyerang umur lebih dari 35 tahun), vCJD menyerang anak muda (20-30 tahun), di samping itu hasil pemeriksaan elektroensefalografipun berbeda, dan perjalanan penyakit vCJD lebih panjang daripada CJD.
Varian jenis CJD berlangsung 12 - 15 bulan sedangkan CJD hanya 3 - 6 bulan. Dalam eksperimen pada otak tikus, ternyata otak sapi yang sakit dapat menularkan penyakit spongiform encephalopathy yang sama pada tikus. Meskipun demikian belum tentu BSE merupakan penyebab vCJD. Karena meskipun penyakit itu serupa namun banyak perbedaan yang jelas yang mendukung bahwa mungkin vCJD hanyalah suatu varian dari CJD yang ditemukan setelah dilakukan penelitian epidemiologi besar-besaran sehubungan dengan dugaan kemungkinan BSE sebagai penyebab CJD.
Indonesia Bebas BSE
Indonesia sendiri telah bebas BSE. Ini berdasarkan Kep. Mentan No. 367/Kpts/TN.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada tanggal 12 Desember 2002.
Untuk mencegah masuknya penyakit BSE ke Indonesia telah ditempuh beberapa kebijakan sejak terjadinya wabah BSE di dunia antara lain :
* Pelaksanaan Prosedur Importasi Hewan dan Produk Hewan
Sebelum importasi hewan dan produk hewan dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pengkajian status hewan di calon negara pengekspor terutama terhadap penyakit hewan yang dikategorikan dalam Daftar-A OIE dan Daftar-B OIE (terutama BSE, karena sifatnya yang menular pada manusia dan belum ditemukan obatnya), diikuti pengkajian analisa resiko importasi serta pengkajian yang menyangkut Sanitary dan Phytosanitary (SPS) melalui MOU dan atau protokol kesehatan hewan.
* Pembatasan Impor melalui Keputusan Menteri Pertanian dan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan yang kemudian dinotifikasikan ke World Trade Organization (WTO), yaitu :
1. Surat Edaran Dirjen Bina Produksi Peternakan No. TN.420/167/D/0496 tanggal 22 April 1996 mengenai penghentian sementara Pemasukan Bahan Asal Ternak Ruminansia dari negara negara Eropa.
2. Surat Edaran Dirjen Bina Produksi Peternakan No. TU210/58/E/01.2001 tanggal 29 Januari 2001 tentang Penghentian sementara Pemasukan Ternak dan Produks Ternak dari negara negara Uni Eropa
3. Surat Edaran Dirjen Bina Produksi Peternakan No. tn.680/35/e/01.2001 tanggal 29 Januari 2001 tentang Penghentian sementara Pemasukan Daging Sapi dari Irlandia
4. Notifikasi ke WTO tanggal 12 Pebruari 2001 tentang Pelarangan sementara pemasukan ternak ruminansia dan produknya yang berasal dari negara - negara Eropa
5. Keputusan Menteri Pertanian No. 445/Kpts/TN.540/7/2002 tanggal 15 Juli 2002 tentang Pelarangan Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya dari negara tertular BSE
* Kebijakan Pelarangan Penggunaan Tepung Daging, Tepung Tulang, Tepung Darah, tepung Tulang dan daging dan Bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia melalui Kep. Mentan No. 471/Kpts/530/7/2002 tanggal 30 Juli 2002.
* Melakukan survailans melalui pengamatan gejala klinis syaraf dan pemeriksaan laboratorium di seluruh Indonesia (Balai Penyidikan dan Pengujian Vereriner Regional I s/d VII, Dinas Peternakan, Pos Keswan dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor) sejak tahun 2000 yang mengacu pada standar Badan Kesehatan Hewan Internasional (OIE) dengan hasil hingga sekarang adanya kecurigaan terhadap BSE.
* Penyiapan Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (KIATVETINDO) BSE.
* Melakukan secara berkesinambungan penilaian resiko BSE yang meliputi kajian-kajian khususnya terhadap importasi MBM dan penelusuran penggunaan MBM, importasi ruminansia, embrio dan oval, surveilans histopatologi, produk tepung tulang, upaya kesiagaan darurat serta peningkatan kepedulian masyarakat (public awareness).
* Surat Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 510/2409/DKH/0503 tanggal 22 Mei 2003 perihal Penghentian Sementara Pemasukan Ruminansia dan Produknya dari Kanada.(Bagus Herawan/Indjul)
Rabu, 04 Maret 2009
Minggu, 01 Maret 2009
makanan halal
Pendahuluan
Penyediaan pangan halal, bergizi, aman, dan bermutu tinggi sudah selayaknya menjadi pondasi utama tegaknya sebuah peradaban. Tugas fardhu kifayah ini sering terlupakan, padahal setiap manusia memerlukan pangan untuk kelangsungan hidupnya. Kenyataan ini sejalan dengan sabda Rasullullah SAW:
“Akan datang pada manasia suatu zaman, seseorang tidak peduli terhadap apa yang dia ambil apakah yang halal atau yang haram.” (HR Bukhari).
Mengingat pentingnya masalah pangan, setiap muslim seyogyanya mengerti dan memahami terminologi-terminologi dasar bidang ini sesuai dengan Al Qur'an dan Al Hadits. Konsep utama adalah makanan halal, haram, makruh, subhat, beserta hukum daruratnya. Selanjutnya, adapula terminologi thayyib, yang lebih mengacu kepada ilmu empiris yang berkembang saat ini.
Dalam perkembangan teknologi pangan, proses Halal telah banyak dikaji dan dicoba untuk dikembangkan. Namun, publikasi seputar pangan halal dan haram masih jauh dari mencukupi. Untuk itu, makalah ini diupayakan menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesadaran (mewaspadai dan menghindari) produk non-halal.
Pangan Halal
Apabila kehidupan manusia adalah ibarat bermain football, maka manusia diandaikan adalah pemainnya, dengan aturannya Al-Qur'an & As-Sunnah. Dalam pertandingan tersebut, kemenangan ditentukan bukan hanya dengan skor angka, tetapi juga sportivitas, atau unggul dalam koridor tetap dalam aturan pertandingan. Begitu pula kenyataan dalam hidup. Al Qur'an merupakan prinsip dasar yang sebagiannya diperjelas dalam As Sunnah. Bagian lain dari As-Sunnah berisi pedoman untuk hidup lebih baik.
Berkaitan dengan pangan, manusia pun bertanding melawan hawa nafsu, dengan gawang tujuan adalah ridho Allah SWT (QS: adz-Dzariyat 56). Dijadikan dunia ini untuk dikelola, dikonsumsi, dan dikembangkan untuk kesejahteraan manusia (QS: al-Jatsiyah 13; Thahaa 53-54). Maka, apabila dilanggar, akibatnya akan kembali kepada kelangsungan kehidupan itu sendiri. Ada dua konsekuensi yang ditanggung: diri sendiri dan implikasi kepada masyarakat secara umum (QS: al-Ar’raf 56; ar-Rum 41-42).
Wahai manusia, makanlah apa-apa saja yang ada dipermukaan bumi ini yang halal lagi baik. Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah seitan, sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu yang nyata. (QS al-Baqarah : 168)
Payung ayat 168 surah al-Baqarah ini menunjukkan bahwa tidak hanya umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya harus mengkonsumsi pangan yang halal lagi baik. Dalam nash al-Qur’an, ada dua dalil: halal, berarti yang sah untuk dikonsumsi (secara zat) dan; haram sebagai lawan dari halal. Pangan haram ini berarti harus dihindari.
Haram lidz-dzati atau haram karena zatnya. (QS al-Baqarah 172, al-Maidah 3, al-An’am 145) : darah, bangkai, dan babi (menurut terjemahan tafsiran Yusuf Qardhawi dalam buku Halal dan Haram, bukan hanya sekedar daging babi).
Haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya. (QS al-Maidah 3) : disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/Allah, hewan yang mati karena tercekik, ditanduk, jatuh, dipukul, diterkam binatang buas (menurut Yusuf Qardhawi, semua ini termasuk kategori bangkai/maitah).
Beberapa ketentuan Islam terhadap halal dan haram
1. Segala sesuatu yang ada di muka bumi pada dasarnya mubah (al-Baqarah 29, al-Jatsiyah 13)
2. Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah (Yunus 59, al-An’am 119)
3. Menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal adalah perbuatan syirik (al-Maidah 103-104)
4. Yang halal tidak perlu yang haram (An-Nisa 26-28)
5. Niat yang baik tidak menghalalkan yang haram (al-Mu’minun 51, al-Baqarah 172)
6. Halal/haram berlaku untuk semua, tidak ada pengecualian atas seseorang (an-Nisa 105-109)
7. Keadaan darurat memperbolehkan yang dilarang (al-Baqarah 172,185, al-Maidah 6, an-Nisa 28)
Pengaruh makanan halal
“Seorang laki-laki menempuh perjalanan jauh, kusut rambutnya lagi berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Rabku! ya Rabku!’ sedang makanannya haram, minumannya haram, dan bajunya dari yang haram, maka bagaimanakah mungkin doanya akan dikabulkan.” (HR Muslim).
Dalam Islam, pangan adalah sumber energi untuk berbuat kebajikan (QS: al-Baqarah 172). Pangan juga akan membentuk daging, darah, dan mempengaruhi cara berfikir dan emosional tiap-tiap individu. Masuk akal apabila seseorang yang terbiasa mengkonsumsi makanan non-halal untuk cenderung bertindak dan berbuat hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT.
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Tatkala aku membaca ayat di hadapan Rasulullah, yang artinya, ‘Wahai manusia makanlah apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik.’ Tiba-tiba berdirilah Sa’ad bin Abi Waqqas kemudian berkata,’Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikan doaku mustajab.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Perbaikailah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seseorang yang memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima dari amal-amalnya 40 hari. Dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari yang haram dan riba maka neraka lebih layak baginya’.”
Dalam dua hadits yang disajikan ini, Rasullullah telah menberikan konsekuensi bagi pengkonsumsi makanan non-halal, yaitu: tidak diterima ibadahnya serta akan merasakan panasnya api neraka. Akan tetapi peringatan tersebut agaknya masih banyak dilanggar oleh umat, salah satunya dengan alasan: makanan halal lebih mahal harganya, atau bagi yang tinggal di daerah minoritas, pangan tersebut susah untuk didapatkan.
Masalah pangan, tidak cukup hanya berhenti pada terminologi, tetapi juga menjadi sebuah praktek dalam hidup komunitas muslim. Penyediaan pangan yang memenuhi kaidah syariah dan menentramkan hati umat merupakan tugas mulia yang bisa dikatakan fardhu kifayah.
Pangan Thayyib
Dalam perkembangannya, penyediaan pangan dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu bahan baku, perdagangan bahan baku/pangan jadi dalam kemasan, dan katering. Tersedianya makanan halal dan thayyib tidak lepas dari peranan teknologi, misalnya proses pengalengan, perlakuan dengan panas, fermentasi, pengepakan, dan sebagainya. Begitu juga dengan penyediaan material pendukung, yang kebanyakan memanfaatkan ilmu bioteknologi.
Para ilmuwan Islam telah banyak berkontribusi dalam meningkatkan kualitas konsumsi ummat, namun sayangnya, gayung kurang bersambut, dengan lemahnya penyerapan ilmu ditingkat industri. HrCCP (Haram Critical Control Point) yang digagas 10 tahun yang lalu, tampaknya masih belum banyak diketahui, digunakan, apalagi dikembangkan. Dorongan dari komunitas Islam terhadap penyedian makanan halal dan berkualitas pun masih dikalahkan dengan aspek kemampuan ataupun perhitungan ekonomi.
Aman
Terminologi aman dalam makanan adalah mengkonsumsi nutrisi yang dibutuhkan dengan tidak membawa zat-zat berbahaya yang dapat membawa efek samping bagi tubuh. Termasuk dalam hal ini adalah mengkonsumsi produk kedaluarsa, memakan makanan yang kotor, mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia tidak aman atau melebihi ketentuan yang disyaratkan. Dalam kenyataannya, di negara maju seperti Eropa, masyarakatnya mengkonsumsi racun yang terikut di dalam produk sereal (roti gandum, barley, oat, beras) pada kadar 8-12 ng/kg berat badan setiap minggunya. Nano gram artinya satu bagian per semilyar. Pada kadar di atas 100 ng/kg berat badan (FAO, 2001), racun ini dapat mengakibatkan penyakit degeneratif seperti kanker dan tumor.
Di negara miskin seperti Indonesia dan Afrika, penggunaan bahan pewarna tekstil, pengawet non-organik, dan penguat rasa merupakan masalah yang setiap tahun dilaporkan (BPOM, 2007; BPOM, 2005).
Bergizi
Makanan yang dikonsumsi tidak sekedar mengenyangkan, tetapi juga memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Ada beberapa unsur nutrisi yang tidak dapat dipenuhi, biasanya disebut asam amino esensial, yang diperoleh dari produk hewani dan nabati. Beberapa unsur vitamin juga tidak dapat diproduksi oleh manusia, sehingga perlu mengkonsumsi daging, buah, dan sayuran.
Diet berimbang (pola makan)
Keseimbangan diet (manusia rata-rata 2000 Kalori/hari) ditambah 8 gelas air/hari (4 L/hari) dan serat merupakan rekomendasi rutin yang dianjurkan petugas medis. Kelebihan berat badan adalah masalah umum yang ditemui di negara maju, sementara kekurangan gizi (terutama protein dan zat besi) merupakan masalah negara berkembang. Pola makan yang Rasulullah SAW ajarkan adalah 1/3 untuk makan berat, 1/3 untuk air, dan 1/3 lagi dibiarkan kosong. Makan secara teratur dan tidak berlebih-lebihan merupakan anjuran berikutnya (QS Al A’raf 31)
Bagi rekan-rekan yang menderita penyakit, banyak riset dibidang medis yang telah dilakukan berkaitan dengan penyesuaian pola makan. Namun pada umumnya sumber penyakit dibagi menjadi 3: tidak berfungsi/normalnya sebagian alat pencernaan atau metabolisme tubuh (penyakit, cacat), akibat infeksi dari organisme lain, dan alergi.
Standardisasi
Halal
Hampir setiap negara saat ini memiliki lembaga yang melakukan sertifikasi Halal. Indonesia, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat adalah beberapa negara yang memiliki lembaga tersebut dan telah diakui dan diterima oleh negara-negara lain.
Di Indonesia, yang mengeluarkan sertifikat halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), peranan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM-MUI) adalah sebagai tenaga profesional yang membantu memberikan pertimbangan teknologi/pengetahuan teknis kepada MUI dan membantu masyarakat dalam memproduksi makanan yang halal serta memperoleh sertifikat halal.
Proses pengurusan sertifikat halal diajukan melalui LPPOM-MUI dan akan diperiksa kelengkapan berkasnya terlebih dahulu. Bila berkas lengkap, selanjutnya diadakan audit lapangan. Apabila audit lapangan dan berkas sinkron dan tidak ditemukan hal-hal yang meragukan, maka proses penetapan sertifikat halal dilakukan oleh komisi fatwa MUI.
Ada tiga jenis usaha pengolahan pangan yang menjadi sasaran utama bagi sertifikasi halal, yaitu :
1. Restoran/rumah makan, setiap restoran/rumah makan seyogyanya memiliki sertifikat halal sebagai jaminan keamanan batin bagi konsumen. Yang disertifikasi adalah bahan baku dan proses yang terjadi selama pembuatan makanan, penyajian dan peralatan yang digunakan.
2. Rumah potong hewan (RPH), daging yang tidak disembelih dengan benar secara syar’i maupun niat hukumnya jatuh menjadi bangkai dan haram untuk dimakan. Penyembelihan yang benar mewajibkan terputusnya nadi (vena/arteri), saluran makanan (kerongkongan), dan saluran udara (tenggorokan). Selain proses pemotongan, juga pemotongnya harus disertifikasi.
3. Makanan dalam kemasan, adalah makanan yang didistribusikan baik siap olah maupun siap saji dalam kemasan plastik (polyprophylene, polyethylene, polyethylene tereftalat, retort pouch, gelas plastik), kaleng, kertas (tetra pack, dsb). Selain perusahaannya mendapatkan sertifikat halal, juga diperlukan izin pencantuman label halal dari Badan POM (Pengawasan Obat Makanan dan Kosmetika).
Pencantuman label halal tidak boleh dilakukan sendiri tanpa sertifikasi dan izin. Industri milik pengusaha muslim belum tentu menghasilkan produk yang halal. Begitu pula di tingkat mikro, seorang ‘Pak Haji’ belum tentu memproduksi makanan halal.
Thayyib
Dalam pengelolaan pangan, ada berbagai standar baku pengolahan pangan. Untuk skala industri aturan-aturan tersebut melingkupi Good Handling Practises (GHP), Good Manufacturing Practises (GMP), dan Good Distribution Practises (GDP). Secara lebih spesifik berdasarkan satuan operasinya ada Sanitary Standard Operating System (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Dilihat dari bahan mentahnya, Amerika Serikat memiliki data bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalan Industri pangan atau dikenal dengan Generally Recognized as Safe (GRAS). Bagi negara-negara lain, material tersebut harus termasuk dalam kategori layak untuk dikonsumsi (food grade). Dari sisi manajemen ada ISO seri 9000 untuk manajemen mutu dan proses produksi serta ISO seri 14000 untuk pengelolaan limbah/buangan dan lingkungan.
Perdagangan produk pangan saat ini harus mengikuti standar-standar layak komsumsi. Standar ini misalnya :
ISO seri 9000 : Cara Berproduksi Makanan yang Baik
HACCP : Hazard Analysis Critical Control Point
SSOP : Sanitation Standard Operating Procedures
ANZFA : Australia New Zealand Food Authority (Food Act, 2003)
SNI : Standar (mutu) Nasional Indonesia; contoh: AMDK, garam, tepung, dsb
RDI : Recommended Daily Intake
AKG : Angka Kecukupan Gizi harian
Haram-awareness
Ingredien makanan
Berapa banyak konsumen melihat ingridien produk dibanding melihat harga? Untuk itu, LPPOM-MUI menyarankan pentingnya konsumen kritis dalam mencermati ingridien makanan (terutama untuk makanan dalam kemasan). Sebagai contoh, beberapa produk yang digemari ABG (anak baru gede, angkatan babe gue, dsb) yang perlu mendapat perhatian :
1. Bakery/rerotian: rum (yang non-sintesis mengandung alkohol) pada black forest, mentega (hewani, sedangkan margarin dari nabati) pada semua produk, yeast/ragi (media asal pertumbuhannya) pada roti.
2. Confectionary/candy/permen : gelatin pada permen empuk, anti-blooming pada permen bening.
3. Sosis/nugget/baso: asal daging.
4. Gorengan: asal minyak goreng (apabila curah/bekas)
5. Mie: banyak sekali !, misalnya penyedap rasa (flavour).
6. Air minum dalam kemasan (AMDK) terutama isi ulang: asal arang aktif (tulang babi?)
Fermentasi
Selain permasalahan ingredien, satu topik yang paling sering dibahas adalah produk hasil fermentasi. Fermentasi artinya pengolahan produk makanan dengan bantuan mikroorganisme dengan hasil yang lebih baik, semakin mudah di cerna, meningkatkan nilai gizi, tidak berbahaya, serta dalam beberapa hal menambah manfaat bagi kesehatan. Sekalipun sama-sama disebabkan oleh mikroorganisme, lawan dari fermentasi adalah pembusukan.
Contoh fermentasi yang paling populer adalah produksi makanan/minuman beralkohol (alcoholic beverage). Termasuk dalam kategori ini wine, beer, spirit, liquor, cherry, ciu, hingga tape. Dalam Islam, definisi umum dari minuman beralkohol dikenal sebagai khamr (yang memabukkan).
Tidak semua hasil fermentasi menghasilkan alkohol, banyak sekali produk fermentasi yang baik bagi kesehatan dan dalam prakteknya diminum sejak dahulu kala. Roti, yogurt, cokelat, kopi adalah contoh-contoh produk hasil fermentasi dari masa-ke-masa yang terus berkembang.
at 00:29
Labels: pangan
2 comments:
Anonymous said...
Hi, aku andra mhsiswa mo nanya soongg
kalo makanan tsbut dimasak pake kyk wine gitu, winenya kan uda kebakar ato gosong dll... Mang masih memabukkan y..????
oiy imel di : mokonamodoki2003@yahoo.com thx..
9:31 PM
Sqvalkic said...
Wine biasanya digunakan untuk dua hal:
1. Melunakkan daging
2. Menimbulkan efek bakar dan rasa yang nyaman di indera kita.
Akan tetapi, sekalipun alkoholnya mungkin habis terbakar saat wine ditambahkan dalam proses penggorengan/pemanggangan, senyawa lainnya dari wine masih menetap disana.
Proses pemanggangan tersebut menyebabkan reaksi kimia yang rumit (sepertinya pelunakan daging dibantu dengan wine, atau pencampuran aroma).
Prinsipnya adalah, sekali tercampur dengan yang haram maka sebenarnya kita sudah tidak bisa menentukan produk akhirnya secara yakin sebagai halal lagi.
Penyediaan pangan halal, bergizi, aman, dan bermutu tinggi sudah selayaknya menjadi pondasi utama tegaknya sebuah peradaban. Tugas fardhu kifayah ini sering terlupakan, padahal setiap manusia memerlukan pangan untuk kelangsungan hidupnya. Kenyataan ini sejalan dengan sabda Rasullullah SAW:
“Akan datang pada manasia suatu zaman, seseorang tidak peduli terhadap apa yang dia ambil apakah yang halal atau yang haram.” (HR Bukhari).
Mengingat pentingnya masalah pangan, setiap muslim seyogyanya mengerti dan memahami terminologi-terminologi dasar bidang ini sesuai dengan Al Qur'an dan Al Hadits. Konsep utama adalah makanan halal, haram, makruh, subhat, beserta hukum daruratnya. Selanjutnya, adapula terminologi thayyib, yang lebih mengacu kepada ilmu empiris yang berkembang saat ini.
Dalam perkembangan teknologi pangan, proses Halal telah banyak dikaji dan dicoba untuk dikembangkan. Namun, publikasi seputar pangan halal dan haram masih jauh dari mencukupi. Untuk itu, makalah ini diupayakan menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesadaran (mewaspadai dan menghindari) produk non-halal.
Pangan Halal
Apabila kehidupan manusia adalah ibarat bermain football, maka manusia diandaikan adalah pemainnya, dengan aturannya Al-Qur'an & As-Sunnah. Dalam pertandingan tersebut, kemenangan ditentukan bukan hanya dengan skor angka, tetapi juga sportivitas, atau unggul dalam koridor tetap dalam aturan pertandingan. Begitu pula kenyataan dalam hidup. Al Qur'an merupakan prinsip dasar yang sebagiannya diperjelas dalam As Sunnah. Bagian lain dari As-Sunnah berisi pedoman untuk hidup lebih baik.
Berkaitan dengan pangan, manusia pun bertanding melawan hawa nafsu, dengan gawang tujuan adalah ridho Allah SWT (QS: adz-Dzariyat 56). Dijadikan dunia ini untuk dikelola, dikonsumsi, dan dikembangkan untuk kesejahteraan manusia (QS: al-Jatsiyah 13; Thahaa 53-54). Maka, apabila dilanggar, akibatnya akan kembali kepada kelangsungan kehidupan itu sendiri. Ada dua konsekuensi yang ditanggung: diri sendiri dan implikasi kepada masyarakat secara umum (QS: al-Ar’raf 56; ar-Rum 41-42).
Wahai manusia, makanlah apa-apa saja yang ada dipermukaan bumi ini yang halal lagi baik. Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah seitan, sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu yang nyata. (QS al-Baqarah : 168)
Payung ayat 168 surah al-Baqarah ini menunjukkan bahwa tidak hanya umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya harus mengkonsumsi pangan yang halal lagi baik. Dalam nash al-Qur’an, ada dua dalil: halal, berarti yang sah untuk dikonsumsi (secara zat) dan; haram sebagai lawan dari halal. Pangan haram ini berarti harus dihindari.
Haram lidz-dzati atau haram karena zatnya. (QS al-Baqarah 172, al-Maidah 3, al-An’am 145) : darah, bangkai, dan babi (menurut terjemahan tafsiran Yusuf Qardhawi dalam buku Halal dan Haram, bukan hanya sekedar daging babi).
Haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya. (QS al-Maidah 3) : disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/Allah, hewan yang mati karena tercekik, ditanduk, jatuh, dipukul, diterkam binatang buas (menurut Yusuf Qardhawi, semua ini termasuk kategori bangkai/maitah).
Beberapa ketentuan Islam terhadap halal dan haram
1. Segala sesuatu yang ada di muka bumi pada dasarnya mubah (al-Baqarah 29, al-Jatsiyah 13)
2. Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah (Yunus 59, al-An’am 119)
3. Menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal adalah perbuatan syirik (al-Maidah 103-104)
4. Yang halal tidak perlu yang haram (An-Nisa 26-28)
5. Niat yang baik tidak menghalalkan yang haram (al-Mu’minun 51, al-Baqarah 172)
6. Halal/haram berlaku untuk semua, tidak ada pengecualian atas seseorang (an-Nisa 105-109)
7. Keadaan darurat memperbolehkan yang dilarang (al-Baqarah 172,185, al-Maidah 6, an-Nisa 28)
Pengaruh makanan halal
“Seorang laki-laki menempuh perjalanan jauh, kusut rambutnya lagi berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Rabku! ya Rabku!’ sedang makanannya haram, minumannya haram, dan bajunya dari yang haram, maka bagaimanakah mungkin doanya akan dikabulkan.” (HR Muslim).
Dalam Islam, pangan adalah sumber energi untuk berbuat kebajikan (QS: al-Baqarah 172). Pangan juga akan membentuk daging, darah, dan mempengaruhi cara berfikir dan emosional tiap-tiap individu. Masuk akal apabila seseorang yang terbiasa mengkonsumsi makanan non-halal untuk cenderung bertindak dan berbuat hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT.
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Tatkala aku membaca ayat di hadapan Rasulullah, yang artinya, ‘Wahai manusia makanlah apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik.’ Tiba-tiba berdirilah Sa’ad bin Abi Waqqas kemudian berkata,’Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikan doaku mustajab.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Perbaikailah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seseorang yang memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima dari amal-amalnya 40 hari. Dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari yang haram dan riba maka neraka lebih layak baginya’.”
Dalam dua hadits yang disajikan ini, Rasullullah telah menberikan konsekuensi bagi pengkonsumsi makanan non-halal, yaitu: tidak diterima ibadahnya serta akan merasakan panasnya api neraka. Akan tetapi peringatan tersebut agaknya masih banyak dilanggar oleh umat, salah satunya dengan alasan: makanan halal lebih mahal harganya, atau bagi yang tinggal di daerah minoritas, pangan tersebut susah untuk didapatkan.
Masalah pangan, tidak cukup hanya berhenti pada terminologi, tetapi juga menjadi sebuah praktek dalam hidup komunitas muslim. Penyediaan pangan yang memenuhi kaidah syariah dan menentramkan hati umat merupakan tugas mulia yang bisa dikatakan fardhu kifayah.
Pangan Thayyib
Dalam perkembangannya, penyediaan pangan dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu bahan baku, perdagangan bahan baku/pangan jadi dalam kemasan, dan katering. Tersedianya makanan halal dan thayyib tidak lepas dari peranan teknologi, misalnya proses pengalengan, perlakuan dengan panas, fermentasi, pengepakan, dan sebagainya. Begitu juga dengan penyediaan material pendukung, yang kebanyakan memanfaatkan ilmu bioteknologi.
Para ilmuwan Islam telah banyak berkontribusi dalam meningkatkan kualitas konsumsi ummat, namun sayangnya, gayung kurang bersambut, dengan lemahnya penyerapan ilmu ditingkat industri. HrCCP (Haram Critical Control Point) yang digagas 10 tahun yang lalu, tampaknya masih belum banyak diketahui, digunakan, apalagi dikembangkan. Dorongan dari komunitas Islam terhadap penyedian makanan halal dan berkualitas pun masih dikalahkan dengan aspek kemampuan ataupun perhitungan ekonomi.
Aman
Terminologi aman dalam makanan adalah mengkonsumsi nutrisi yang dibutuhkan dengan tidak membawa zat-zat berbahaya yang dapat membawa efek samping bagi tubuh. Termasuk dalam hal ini adalah mengkonsumsi produk kedaluarsa, memakan makanan yang kotor, mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia tidak aman atau melebihi ketentuan yang disyaratkan. Dalam kenyataannya, di negara maju seperti Eropa, masyarakatnya mengkonsumsi racun yang terikut di dalam produk sereal (roti gandum, barley, oat, beras) pada kadar 8-12 ng/kg berat badan setiap minggunya. Nano gram artinya satu bagian per semilyar. Pada kadar di atas 100 ng/kg berat badan (FAO, 2001), racun ini dapat mengakibatkan penyakit degeneratif seperti kanker dan tumor.
Di negara miskin seperti Indonesia dan Afrika, penggunaan bahan pewarna tekstil, pengawet non-organik, dan penguat rasa merupakan masalah yang setiap tahun dilaporkan (BPOM, 2007; BPOM, 2005).
Bergizi
Makanan yang dikonsumsi tidak sekedar mengenyangkan, tetapi juga memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Ada beberapa unsur nutrisi yang tidak dapat dipenuhi, biasanya disebut asam amino esensial, yang diperoleh dari produk hewani dan nabati. Beberapa unsur vitamin juga tidak dapat diproduksi oleh manusia, sehingga perlu mengkonsumsi daging, buah, dan sayuran.
Diet berimbang (pola makan)
Keseimbangan diet (manusia rata-rata 2000 Kalori/hari) ditambah 8 gelas air/hari (4 L/hari) dan serat merupakan rekomendasi rutin yang dianjurkan petugas medis. Kelebihan berat badan adalah masalah umum yang ditemui di negara maju, sementara kekurangan gizi (terutama protein dan zat besi) merupakan masalah negara berkembang. Pola makan yang Rasulullah SAW ajarkan adalah 1/3 untuk makan berat, 1/3 untuk air, dan 1/3 lagi dibiarkan kosong. Makan secara teratur dan tidak berlebih-lebihan merupakan anjuran berikutnya (QS Al A’raf 31)
Bagi rekan-rekan yang menderita penyakit, banyak riset dibidang medis yang telah dilakukan berkaitan dengan penyesuaian pola makan. Namun pada umumnya sumber penyakit dibagi menjadi 3: tidak berfungsi/normalnya sebagian alat pencernaan atau metabolisme tubuh (penyakit, cacat), akibat infeksi dari organisme lain, dan alergi.
Standardisasi
Halal
Hampir setiap negara saat ini memiliki lembaga yang melakukan sertifikasi Halal. Indonesia, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat adalah beberapa negara yang memiliki lembaga tersebut dan telah diakui dan diterima oleh negara-negara lain.
Di Indonesia, yang mengeluarkan sertifikat halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), peranan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM-MUI) adalah sebagai tenaga profesional yang membantu memberikan pertimbangan teknologi/pengetahuan teknis kepada MUI dan membantu masyarakat dalam memproduksi makanan yang halal serta memperoleh sertifikat halal.
Proses pengurusan sertifikat halal diajukan melalui LPPOM-MUI dan akan diperiksa kelengkapan berkasnya terlebih dahulu. Bila berkas lengkap, selanjutnya diadakan audit lapangan. Apabila audit lapangan dan berkas sinkron dan tidak ditemukan hal-hal yang meragukan, maka proses penetapan sertifikat halal dilakukan oleh komisi fatwa MUI.
Ada tiga jenis usaha pengolahan pangan yang menjadi sasaran utama bagi sertifikasi halal, yaitu :
1. Restoran/rumah makan, setiap restoran/rumah makan seyogyanya memiliki sertifikat halal sebagai jaminan keamanan batin bagi konsumen. Yang disertifikasi adalah bahan baku dan proses yang terjadi selama pembuatan makanan, penyajian dan peralatan yang digunakan.
2. Rumah potong hewan (RPH), daging yang tidak disembelih dengan benar secara syar’i maupun niat hukumnya jatuh menjadi bangkai dan haram untuk dimakan. Penyembelihan yang benar mewajibkan terputusnya nadi (vena/arteri), saluran makanan (kerongkongan), dan saluran udara (tenggorokan). Selain proses pemotongan, juga pemotongnya harus disertifikasi.
3. Makanan dalam kemasan, adalah makanan yang didistribusikan baik siap olah maupun siap saji dalam kemasan plastik (polyprophylene, polyethylene, polyethylene tereftalat, retort pouch, gelas plastik), kaleng, kertas (tetra pack, dsb). Selain perusahaannya mendapatkan sertifikat halal, juga diperlukan izin pencantuman label halal dari Badan POM (Pengawasan Obat Makanan dan Kosmetika).
Pencantuman label halal tidak boleh dilakukan sendiri tanpa sertifikasi dan izin. Industri milik pengusaha muslim belum tentu menghasilkan produk yang halal. Begitu pula di tingkat mikro, seorang ‘Pak Haji’ belum tentu memproduksi makanan halal.
Thayyib
Dalam pengelolaan pangan, ada berbagai standar baku pengolahan pangan. Untuk skala industri aturan-aturan tersebut melingkupi Good Handling Practises (GHP), Good Manufacturing Practises (GMP), dan Good Distribution Practises (GDP). Secara lebih spesifik berdasarkan satuan operasinya ada Sanitary Standard Operating System (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Dilihat dari bahan mentahnya, Amerika Serikat memiliki data bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalan Industri pangan atau dikenal dengan Generally Recognized as Safe (GRAS). Bagi negara-negara lain, material tersebut harus termasuk dalam kategori layak untuk dikonsumsi (food grade). Dari sisi manajemen ada ISO seri 9000 untuk manajemen mutu dan proses produksi serta ISO seri 14000 untuk pengelolaan limbah/buangan dan lingkungan.
Perdagangan produk pangan saat ini harus mengikuti standar-standar layak komsumsi. Standar ini misalnya :
ISO seri 9000 : Cara Berproduksi Makanan yang Baik
HACCP : Hazard Analysis Critical Control Point
SSOP : Sanitation Standard Operating Procedures
ANZFA : Australia New Zealand Food Authority (Food Act, 2003)
SNI : Standar (mutu) Nasional Indonesia; contoh: AMDK, garam, tepung, dsb
RDI : Recommended Daily Intake
AKG : Angka Kecukupan Gizi harian
Haram-awareness
Ingredien makanan
Berapa banyak konsumen melihat ingridien produk dibanding melihat harga? Untuk itu, LPPOM-MUI menyarankan pentingnya konsumen kritis dalam mencermati ingridien makanan (terutama untuk makanan dalam kemasan). Sebagai contoh, beberapa produk yang digemari ABG (anak baru gede, angkatan babe gue, dsb) yang perlu mendapat perhatian :
1. Bakery/rerotian: rum (yang non-sintesis mengandung alkohol) pada black forest, mentega (hewani, sedangkan margarin dari nabati) pada semua produk, yeast/ragi (media asal pertumbuhannya) pada roti.
2. Confectionary/candy/permen : gelatin pada permen empuk, anti-blooming pada permen bening.
3. Sosis/nugget/baso: asal daging.
4. Gorengan: asal minyak goreng (apabila curah/bekas)
5. Mie: banyak sekali !, misalnya penyedap rasa (flavour).
6. Air minum dalam kemasan (AMDK) terutama isi ulang: asal arang aktif (tulang babi?)
Fermentasi
Selain permasalahan ingredien, satu topik yang paling sering dibahas adalah produk hasil fermentasi. Fermentasi artinya pengolahan produk makanan dengan bantuan mikroorganisme dengan hasil yang lebih baik, semakin mudah di cerna, meningkatkan nilai gizi, tidak berbahaya, serta dalam beberapa hal menambah manfaat bagi kesehatan. Sekalipun sama-sama disebabkan oleh mikroorganisme, lawan dari fermentasi adalah pembusukan.
Contoh fermentasi yang paling populer adalah produksi makanan/minuman beralkohol (alcoholic beverage). Termasuk dalam kategori ini wine, beer, spirit, liquor, cherry, ciu, hingga tape. Dalam Islam, definisi umum dari minuman beralkohol dikenal sebagai khamr (yang memabukkan).
Tidak semua hasil fermentasi menghasilkan alkohol, banyak sekali produk fermentasi yang baik bagi kesehatan dan dalam prakteknya diminum sejak dahulu kala. Roti, yogurt, cokelat, kopi adalah contoh-contoh produk hasil fermentasi dari masa-ke-masa yang terus berkembang.
at 00:29
Labels: pangan
2 comments:
Anonymous said...
Hi, aku andra mhsiswa mo nanya soongg
kalo makanan tsbut dimasak pake kyk wine gitu, winenya kan uda kebakar ato gosong dll... Mang masih memabukkan y..????
oiy imel di : mokonamodoki2003@yahoo.com thx..
9:31 PM
Sqvalkic said...
Wine biasanya digunakan untuk dua hal:
1. Melunakkan daging
2. Menimbulkan efek bakar dan rasa yang nyaman di indera kita.
Akan tetapi, sekalipun alkoholnya mungkin habis terbakar saat wine ditambahkan dalam proses penggorengan/pemanggangan, senyawa lainnya dari wine masih menetap disana.
Proses pemanggangan tersebut menyebabkan reaksi kimia yang rumit (sepertinya pelunakan daging dibantu dengan wine, atau pencampuran aroma).
Prinsipnya adalah, sekali tercampur dengan yang haram maka sebenarnya kita sudah tidak bisa menentukan produk akhirnya secara yakin sebagai halal lagi.
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung - Bahan Baku Pakan
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung - Bahan Baku Pakan
Pendahuluan
Standar Hasil Ikutan Pengolahan Jagung sebagai bahan baku pakan, sangat diperlukan untuk menjamin kepastian harga dan mutu bagi produsen dan konsumen.
Kandungan zat anti nutrisi/racun sampai dengan batas tertentu dalam hasil ikutan jagung, tidak membahayakan kesehatan ternak, maupun bagi manusia yang mengkonsumsi hasil ternak tersebut.
Untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan mutu Hasil Ikutan Pengolahan Jagung diperlukan standar yang harus dipenuhi.
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung - Bahan Baku Pakan
1 Ruang Lingkup
Standar ini meliputi definisi, Istilah, klasifikasi, persyaratan mutu, cara pengambilan contoh, metoda analisis, cara pengemasan dan penandaan.
2 Definisi
Hasil ikutan pengolahan jagung adalah hasil ikutan proses pengolahan jagung untuk mendapatkan pati dan terdiri atas bagian kulit, endosperm dan embrio (lembaga).
3 Istilah
a) Corn gluten feed adalah bagian dari jagung pipilan yang tersisa dari proses pengolahan pati, gluten dan lembaga melalui proses pengolahan sistem basah dari pati jagung atau sirup.
Bahan (produk) dapat atau tidak mengandung ekstraksi fermentasi jagung dan/atau tepung lembaga jagung (corngerm meal).
b) Corn Gluten Meal (CGM 60 dan CGM 40) adalah residu kering dari jagung setelah pemisahan sebagian besar dari pati dan lembaga, dan pemisahan dari dedak melalui proses yang digunakan dalam pengolahan sistem basah dari pati jagung atau sirup, atau dengan proses perlakuan enzimatik dari endosperm. Bahan (produk) dapat mengandung ekstraksi fermentasi jagung dan/atau tepung lembaga jagung.
c) Hominy Feed adalah produk mengandung campuran dari dedak jagung lembaga jagung, dan sebagian besar dari bagian (fraksi) pati jagung biji putih atau kuning atau kombinasi yang dihasilkan dalam produksi mutiara homini (pearl hominy), homini biji (hominy grits) dan tepung meja (table meal) dan tidak mengandung lebih dari 4 % lemak kasar.
4 Klasifikasi
Hasil ikutan pengolahan jagung digolongkan dalam 4 (empat) tingkatan mutu, yaitu CGM 60, CGM 40, CGF dan Homini.
5 Persyaratan Mutu
Persyaratan standar mutu hasil ikutan pengolahan jagung meliputi kandungan zat makanan, kandungan bahan berbahaya/racun serta kemurnian.
Persyaratan standar mutu untuk hasil ikutan jagung yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Persyaratan mutu hasil ikutan pengolahan jagung
Persyaratan Mutu
No. Komposisi CGM60 CGN40 CGF Homini
1 Kadar air (maksimum) % 12 12 12 12
2 Kadar Protein Kasar (minimum) % 60 40 20 9
3 Kadar Serat Kasar (maksimum) % 3,0 3,5 11 9
4 Kadar Abu (maksimum) % 2,5 3,5 8 10
5 Kadar Lemak(minimum) % 2,5 2,5 2,5 5
6 Xanthophyll (minimum) ppm 150 90 50 -*
7 Mikotoksin :
1) Aflatoksin (maksimum) ppb 50 50 50 50
2) Okratoksin (maksimum) ppb 5 5 5 5
8 Benda Asing (maksimum) % 1 1 1 1
9 Kepadatan (minimum) kg/cm3 515 515 420 400
* = tidak dipersyaratkan
6 Cara Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh dilakukan sesuai dengan SNI 01-2326-1991.
7 Metoda Analisis
Analisa dilakukandengan metode yang telah ditetapkan sebagai berikut :
a) Kadar air sesuai dengan SNI 01-2356-1991
b) Kadar Protein sesuai dengan SNI 2365-1991
c) Kadar serat kasar menurut AOAC 962.09 tahun 1982
d) Kadar abu menurut AOAC 942-05
e) Kadar Lemak sesuai dengan SNI 01-2363-1991
f) Xantophyl menurut AOAC tahun 1995
g) Aflatoksin dengan uji Thin Layer Chromatography menurut
AOAC tahun 1995
h) Okratoksin menurut AOAC tahun 1995
i) Benda asing menurut uji organoleptik sesuai dengan
SNI 01-2345-1991
j) Kepadatan sesuai dengan KHAJARERN At.Al 1987
Cara mengukur kepadatan :
Jagung dimasukkan kedalam sebuah gelas ukur (volume 1000 ml) sampai volume tertentu (v). Bobot jagung kemudian ditimbang (B). Kemudian kepadatan dihitung dengan rumus :
B (kg)
Kepadatan (kg/m3) =
v (m3)
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
Pengukuran benda asing :
Untuk mengetahui prosentase benda asing, dilakukan uji organoleptik. Contoh diambil sebanyak sekitar 100 gr (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan benda asing. Kemudian bobot benda asing ditimbang (b) dalam gram. Prosentase benda asing dihitung dengan rumus :
b
Benda asing (%) = x 100 %
a
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
8 Cara Pengemasan
Hasil ikutan pengolahan jagung baku pakan dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, aman selama penyimpanan dan pengangkutan tidak dipengaruhi dan mempengaruhi isi.
9 Penandaan
Dibagian luar kemasan (kecuali dalam bentuk curah) ditulis dengan bahan yang aman yang tidak luntur dan jelas terbaca antara lain memuat :
a) Nama produk
b) Nama Produsen
c) Berat netto
DAFTAR ISI
Pendahuluan
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
JUDUL .................................................................................................... 1
1 Ruang Lingkup .............................................................................. 1
2 Definisi .......................................................................................... 1
3 Istilah ............................................................................................. 1
4 Klasifikasi ...................................................................................... 1
5 Persyaratan Mutu ........................................................................... 2
6 Cara Pengambilan Contoh ............................................................. 2
7 Metoda Analisis ............................................................................. 2
8 Cara Pengemasan ........................................................................... 3
9 Penandaan ...................................................................................... 4
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung -
Bahan Baku Pakan
Berdasarkan usulan dari Departemen Pertanian
standar ini disetujui oleh Badan Standardisasi Nasional
menjadi Standar Nasional Indonesia dengan nomor :
SNI 01-4484-1998
Penerbitan standar ini dilakukan setelah memperhatikan semua data
dan masukan dari berbagai pihak. Kritik dan saran untuk penyempurnaan standar ini, dapat disampaikan kepada :
BADAN STANDARDISASI NASIONAL - BSN
Sekretariat : Pusat Standardisasi - LIPI, Sasana Widya Sarwono Lantai 5
Jalan Jenderal Gatot Subroto 10 - Telepon (021) 5206574, 5221687, 511542,
Pes. 296, 305, 450, Fax. 5206574, 5207226, Telex 62875 PD II IA, 62554 IA
Pendahuluan
Standar Hasil Ikutan Pengolahan Jagung sebagai bahan baku pakan, sangat diperlukan untuk menjamin kepastian harga dan mutu bagi produsen dan konsumen.
Kandungan zat anti nutrisi/racun sampai dengan batas tertentu dalam hasil ikutan jagung, tidak membahayakan kesehatan ternak, maupun bagi manusia yang mengkonsumsi hasil ternak tersebut.
Untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan mutu Hasil Ikutan Pengolahan Jagung diperlukan standar yang harus dipenuhi.
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung - Bahan Baku Pakan
1 Ruang Lingkup
Standar ini meliputi definisi, Istilah, klasifikasi, persyaratan mutu, cara pengambilan contoh, metoda analisis, cara pengemasan dan penandaan.
2 Definisi
Hasil ikutan pengolahan jagung adalah hasil ikutan proses pengolahan jagung untuk mendapatkan pati dan terdiri atas bagian kulit, endosperm dan embrio (lembaga).
3 Istilah
a) Corn gluten feed adalah bagian dari jagung pipilan yang tersisa dari proses pengolahan pati, gluten dan lembaga melalui proses pengolahan sistem basah dari pati jagung atau sirup.
Bahan (produk) dapat atau tidak mengandung ekstraksi fermentasi jagung dan/atau tepung lembaga jagung (corngerm meal).
b) Corn Gluten Meal (CGM 60 dan CGM 40) adalah residu kering dari jagung setelah pemisahan sebagian besar dari pati dan lembaga, dan pemisahan dari dedak melalui proses yang digunakan dalam pengolahan sistem basah dari pati jagung atau sirup, atau dengan proses perlakuan enzimatik dari endosperm. Bahan (produk) dapat mengandung ekstraksi fermentasi jagung dan/atau tepung lembaga jagung.
c) Hominy Feed adalah produk mengandung campuran dari dedak jagung lembaga jagung, dan sebagian besar dari bagian (fraksi) pati jagung biji putih atau kuning atau kombinasi yang dihasilkan dalam produksi mutiara homini (pearl hominy), homini biji (hominy grits) dan tepung meja (table meal) dan tidak mengandung lebih dari 4 % lemak kasar.
4 Klasifikasi
Hasil ikutan pengolahan jagung digolongkan dalam 4 (empat) tingkatan mutu, yaitu CGM 60, CGM 40, CGF dan Homini.
5 Persyaratan Mutu
Persyaratan standar mutu hasil ikutan pengolahan jagung meliputi kandungan zat makanan, kandungan bahan berbahaya/racun serta kemurnian.
Persyaratan standar mutu untuk hasil ikutan jagung yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Persyaratan mutu hasil ikutan pengolahan jagung
Persyaratan Mutu
No. Komposisi CGM60 CGN40 CGF Homini
1 Kadar air (maksimum) % 12 12 12 12
2 Kadar Protein Kasar (minimum) % 60 40 20 9
3 Kadar Serat Kasar (maksimum) % 3,0 3,5 11 9
4 Kadar Abu (maksimum) % 2,5 3,5 8 10
5 Kadar Lemak(minimum) % 2,5 2,5 2,5 5
6 Xanthophyll (minimum) ppm 150 90 50 -*
7 Mikotoksin :
1) Aflatoksin (maksimum) ppb 50 50 50 50
2) Okratoksin (maksimum) ppb 5 5 5 5
8 Benda Asing (maksimum) % 1 1 1 1
9 Kepadatan (minimum) kg/cm3 515 515 420 400
* = tidak dipersyaratkan
6 Cara Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh dilakukan sesuai dengan SNI 01-2326-1991.
7 Metoda Analisis
Analisa dilakukandengan metode yang telah ditetapkan sebagai berikut :
a) Kadar air sesuai dengan SNI 01-2356-1991
b) Kadar Protein sesuai dengan SNI 2365-1991
c) Kadar serat kasar menurut AOAC 962.09 tahun 1982
d) Kadar abu menurut AOAC 942-05
e) Kadar Lemak sesuai dengan SNI 01-2363-1991
f) Xantophyl menurut AOAC tahun 1995
g) Aflatoksin dengan uji Thin Layer Chromatography menurut
AOAC tahun 1995
h) Okratoksin menurut AOAC tahun 1995
i) Benda asing menurut uji organoleptik sesuai dengan
SNI 01-2345-1991
j) Kepadatan sesuai dengan KHAJARERN At.Al 1987
Cara mengukur kepadatan :
Jagung dimasukkan kedalam sebuah gelas ukur (volume 1000 ml) sampai volume tertentu (v). Bobot jagung kemudian ditimbang (B). Kemudian kepadatan dihitung dengan rumus :
B (kg)
Kepadatan (kg/m3) =
v (m3)
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
Pengukuran benda asing :
Untuk mengetahui prosentase benda asing, dilakukan uji organoleptik. Contoh diambil sebanyak sekitar 100 gr (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan benda asing. Kemudian bobot benda asing ditimbang (b) dalam gram. Prosentase benda asing dihitung dengan rumus :
b
Benda asing (%) = x 100 %
a
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
8 Cara Pengemasan
Hasil ikutan pengolahan jagung baku pakan dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, aman selama penyimpanan dan pengangkutan tidak dipengaruhi dan mempengaruhi isi.
9 Penandaan
Dibagian luar kemasan (kecuali dalam bentuk curah) ditulis dengan bahan yang aman yang tidak luntur dan jelas terbaca antara lain memuat :
a) Nama produk
b) Nama Produsen
c) Berat netto
DAFTAR ISI
Pendahuluan
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
JUDUL .................................................................................................... 1
1 Ruang Lingkup .............................................................................. 1
2 Definisi .......................................................................................... 1
3 Istilah ............................................................................................. 1
4 Klasifikasi ...................................................................................... 1
5 Persyaratan Mutu ........................................................................... 2
6 Cara Pengambilan Contoh ............................................................. 2
7 Metoda Analisis ............................................................................. 2
8 Cara Pengemasan ........................................................................... 3
9 Penandaan ...................................................................................... 4
Hasil Ikutan Pengolahan Jagung -
Bahan Baku Pakan
Berdasarkan usulan dari Departemen Pertanian
standar ini disetujui oleh Badan Standardisasi Nasional
menjadi Standar Nasional Indonesia dengan nomor :
SNI 01-4484-1998
Penerbitan standar ini dilakukan setelah memperhatikan semua data
dan masukan dari berbagai pihak. Kritik dan saran untuk penyempurnaan standar ini, dapat disampaikan kepada :
BADAN STANDARDISASI NASIONAL - BSN
Sekretariat : Pusat Standardisasi - LIPI, Sasana Widya Sarwono Lantai 5
Jalan Jenderal Gatot Subroto 10 - Telepon (021) 5206574, 5221687, 511542,
Pes. 296, 305, 450, Fax. 5206574, 5207226, Telex 62875 PD II IA, 62554 IA
Pengembangan Teknologi Peternakan PKPU
Menggugah Nurani Menebar Peduli lite version english version versi bahasa indonesia
SITUS RESMI LEMBAGA KEMANUSIAAN NASIONAL PKPU
Gedung Graha Peduli PKPU Jl. Raya Condet No. 27-G Batu Ampar Jakarta Timur 13520
Telp. (021) 87780015 Fax: (021) 87780013 email: customer_relation@pkpu.or.id
HOME PROFIL BERITA ARTIKEL KEUANGAN JEJARING PROGRAM ZAKAT GALERI BUKU TAMU
:: ARTIKEL
Selasa, 13 November 2007
Pengembangan Teknologi Peternakan PKPU
PKPU Online Oleh Suryanto (*)
Susu dan daging adalah salah satu produk hasil ternak dengan kandungan gizi tinggi yang diperlukan agar sehat. Produk olahan susu tradisional telah berkembang di sentra−sentra produk di pangalengan Jawa Barat yaitu karamel, dodol, kerupuk susu.
Adanya olahan susu seperti yoghurt yang sudah populer di Indonesia, namun dadih yaitu susu fermentasi khas Sumatera Barat dengan bahan baku susu kerbau ternyata produk susu yang bernuansa tradisional itu belum populer seperti halnya yoghurt.
Untuk itu dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan dengan starter lactobacillusicu plantarum (dadih) dengan starter lainnya seperti lactobacillus acidephilus, lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus. Pengembangan terhadap produk olahan daging seperti sosis, “nugget“, bakso, abon dan dendeng dari daging kelinci, ayam dan sebagai pembanding yaitu daging sapi yang sudah populer.
Seperti diketahui, bahwa daging ayam, khususnya lagi daging kelinci mempunyai kandungan lemak kolestrolnya lebih rendah, sehingga kedua daging ini mempunyai potensi untuk dikembangkan. Starter bakteri lactobacillus plantarum (dadih) bila dikombinasikan dengan strepto Coccus hermophilus dan Lactobacillus bulgaricus diperoleh citra rasa terbaik atau enak dan sifat−sifat karakteristiknya yang baik dibandingkan bila penggunaan secara tunggal dari lactobacillus plantarum maupun yoghurt kombinasi dari streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus. Daya simpan susu fermentasi pada suhu 4 derajat celcius selama 3 hari akan diperoleh susu yang tetap baik.
Daging yang diolah seperti bakso sapi, abon sapi goreng dan dendeng ayam afkir (ayam yang sudah tua umurnya) adalah paling disukai. Abon yang digoreng ternyata lebih disukai dibandingkan abon yang di sangrai, namun abon yang di sangrai akan diperoleh kadar protein lebih tinggi dan kadar lemaknya lebih rendah dari abon goreng.
Kandungan lemak dari abon goreng dan sangrai dari daging kelinci merupakan yang terendah, namun kadar protein tertinggi berasal dari daging sapi. Selama penyimpanan abon selama satu setengah bulan belum terjadi ketengikan atau bau dengan nilai TBA yang rendah.
Kandungan lemak dendeng kelinci adalah yang tertinggi dan kandungan lemak dendeng sapi adalah yang terendah. Adapun bakso sapi dan bakso ayam afkir diperoleh kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan bakso kelinci. Sedangkan kadar kolestrol dari 3 jenis daging tersebut adalah rendah sekitar 0,97 − 1,63 persen
Starter bakteri Lactobacillus plantarum (dadih) yang merupakan produk olahan susu fermentasi asal Sumatera Barat dapat diaplikasikan ke masyarakat bila dikombinasikan dengan lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus.
Cita rasa dari produk olahan daging kelinci dan daging ayam afkir (ayam yang sudah tua umurnya) ternyata belum menyukai olahan daging sapi namun beberapa produk olahan dari daging kelinci dan daging ayam afkir mempunyai kandungan protein yang tinggi dan rendah lemak, oleh karena itu kedua daging tersebut mempunyai prospek untuk dikembangkan.
Susu merupakan salah satu produk hasil ternak yang penting bagi kehidupan, melalui penyediaan zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan. Namun demikian, susu juga merupakan produk yang mudah rusak, sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan secara cepat. Transportasi dan penyimpanan, merupakan faktor kritis yang berpengaruh terhadap mutu susu.
Usaha−usaha pengolahan susu semakin berkembang pada skala rumah tangga dan skala kecil dengan berbagai ragam produ olahannya. Usaha ini merupakan upaya pengawetan sekaligus untuk memperoleh nilai tambah atau nilai jual yang lebih tinggi, serta mengurangi ketergantungan kepada Koperasi Pengolah Susu (KPS).
Masalah yang dihadapi dalam usaha−usaha skala ini adalah teknologi pengolahan yang umumnya relatif sederhana, dalam arti kurang memperhatikan mutu hasil dan sanitai, dengan berbagai keterbatasan sarana/peralatan. Akibatnya adalah mutu produk yang dihasilkan redah dan atau kurang aman untuk konsumsi (Sirait dkk, 1988).
Berbagai Standar of Procedures (SOP) pengolahan susu telah tersedia, namun bersifat umum dan dengan asumsi bahwa berbagai sarana penunjang telah tersedia, akibatnya sulit untuk dapat diterapkan oleh para pelaku pengolahannya. Diperlukan berbagai teknologi pengolahan yang sesuai untuk setiap skala usaha pengolahan.
Produk susu pasteurisasi, yoghurt, kerupuk susu, karamel, dodol susu adalah contoh−contoh produk olahan susu yang berkembang di sentra−sentra produksi susu seperti di Lembang, Bandung atau daerah−daerah lainnya. Pasteurisasi susu pada umumnya dilakukan dengan pemanasan susu sampai pada suhu tertentu kemudian dikemas. Teknologi ini cukup sederhana, namun masih memungkinkan kontaminasi bakteri dan waktu penyimpanan yang relatif pendek.
Teknik lainnya adalah melalui penambahan aditif terlebih dahulu, selanjutnya dikemas lalu dipanaskan pada air mendidih. Teknik kedua ini lebih menjamin keamanan produk, namun lebih rumit dan pemanasan dapat merusak sebagian aditif, terutama yang bersifat aromatis. Selain itu, hanya dapat dilakukan pada kemasan yang tak rusak karena air panas, seperti botol.
Diperlukan kombinasi teknologi yang dapat menjamin kedua konsentrasi aditif seperti gula, juga berpengaruh terhadap waktu penyimpanan, sedangkan adiktif lainnya berpengaruh terhadap rasa, aroma dan flavor. Penambahan jenis aditif dan konsentrasinya diperlukan untuk menciptakan produk yang lebih bermutu dan disukai.
Susu fermentasi atau lebih dikenal sebagai yoghurt, juga merupakan salah satu produk olahan susu yang semakin populer. Mutu yoghurt, termasuk rasa, aroma dan keawetannya, ditentukan oleh jenis dan mutu bahan baku dan jenis bakteri fermenter (Tamine dan Robinson, 1988 dalam Setiyanto, 1999).
Berbagai jenis bahan baku dan bakteri fermenter serta imbangannya akan dipelajari dalam kegiatan ini. Potensi, peluang, masalah dan kendala yang dihadapi oleh pengolah pada berbagai skala usaha akan dipelajari melalui survey dengan wawancara semi terstruktur dan observasi langsung.
Pengolahan untuk memperoleh teknologi yang lebih baik dipelajari di laboratorium dan didemonstrasikan pada kelompok pengolahan produk susu. Daging yang merupakan produk hasil ternak yang berperanan penting dan dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia, namun juga merupakan produk yang mudah rusak dan busuk, sehingga memerlukan penanganan segera, terutama apabila tak terserap pasar.
Selain itu produk−produk olahan daging ternyata memiliki nilai tambah cukup tinggi, bahkan beberapa diantaranya memiliki potensi ekspor seperti abon dan dendeng. Berbagai produk olahan daging lainnya seperti sosis, nugget, bakso, meat loaf, hamburger dan kornet cukup populer dalam menu makanan masyarakat di Indonesia.
Namun demikian, sebagaimana umumnya terjadi pada usaha−usaha skala rumah tangga, kecil dan menengah, teknologi pengolahan perlu diperbaiki untuk menghasilkan produk yang lebih bermutu dan berdaya saing. Selain itu, keterbatasan ketersediaan daging sapi atau ayam merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan produk olahan daging. Salah satu upaya pemecahan ini adalah melalui daging kelinci.
Kelinci mudah tumbuh dan berkembang biak dalam waktu relatif cepat, sehingga dapat menyediakan daging dalam relaif besar. Masalah yang dihadapi adalah masalah psikis (yang mungkin dapat diatasi dengan membuat produk olahan) dan masih terbatasnya ketersediaan daging kelinci.
Padahal abon dan dendeng kelinci serta pasta hainya merupakan komoditas yang diminati di Hongkong dan Belanda (Widodo, 1992). Selain itu, daging kelinci yang rendah kolesterol dan trigeliserida potensial ditawarkan pada kelompok masyarakat tertentu yang kurang menghendaki kolesterol dan trigeliserida/lemak (monoarfa, 2000).
Secara fisikokimia, emulsi yang dibentuk daging kelinci dalam produk olahan daging, ternyata lebih baik dari daging sapi daa ayam (Whiting dan Jenkins, 1981). Dalam pembuatan sosis, nugget dan kornet diperlukan lemak untuk emulsifikasi. Untuk mempertahankan mutu daging kelinci dan atau ayam yang rendah lemak dan kholesterol, emulsi dapat meningkat untuk kesehatan.
Dalam kegiatan ini dilakukan penelitian terhadap teknologi pembuatan berbagai produk olahan daging kelinci, ayam dan sapi menjadi sosis, nugget dengan aditif omega−3, bakso, dendeng, abon minyak dan tanpa minyak.
Potensi dan kendala pemanfaatan daging kelinci di tingkat peternak dipelajari melalui survey pada sentra−sentra produksi kelinci. Akankan ini menjadi sentra usaha PKPU? Insya Allah suatu saat, SQN akan membuktikannya. (PKPU)
* Farm Manager SQN – PKPU
telah dibaca 3379 kali | kembali ke atas | versi cetak | kirim ke teman
<< sebelumnya | ARSIP | sesudahnya >>
:: RESUME
Susu dan daging adalah salah satu produk hasil ternak dengan kandungan gizi tinggi yang diperlukan agar sehat. Produk olahan susu tradisional telah berkembang di sentra-sentra produk di pangalengan Jawa Barat yaitu karamel, dodol, kerupuk susu.
:: BERITA
* Kamis, 26 Februari 2009 08:04:43
Wagub Bengkulu Resmikan KCP PKPU Bengkulu Utara
* Rabu, 25 Februari 2009 13:09:52
Mobil Klinik Keliling Indosat-PKPU Layani 300 Pasien
* Rabu, 25 Februari 2009 12:56:05
Wakil Gubernur Bengkulu Resmikan KCP PKPU Bengkulu Utara
* Selasa, 24 Februari 2009 16:36:12
Kunjungan Studi Banding LAZIS Baiturrahman ke PKPU
[ index berita ]
copyright (c) 2006 by PKPU
SITUS RESMI LEMBAGA KEMANUSIAAN NASIONAL PKPU
Gedung Graha Peduli PKPU Jl. Raya Condet No. 27-G Batu Ampar Jakarta Timur 13520
Telp. (021) 87780015 Fax: (021) 87780013 email: customer_relation@pkpu.or.id
HOME PROFIL BERITA ARTIKEL KEUANGAN JEJARING PROGRAM ZAKAT GALERI BUKU TAMU
:: ARTIKEL
Selasa, 13 November 2007
Pengembangan Teknologi Peternakan PKPU
PKPU Online Oleh Suryanto (*)
Susu dan daging adalah salah satu produk hasil ternak dengan kandungan gizi tinggi yang diperlukan agar sehat. Produk olahan susu tradisional telah berkembang di sentra−sentra produk di pangalengan Jawa Barat yaitu karamel, dodol, kerupuk susu.
Adanya olahan susu seperti yoghurt yang sudah populer di Indonesia, namun dadih yaitu susu fermentasi khas Sumatera Barat dengan bahan baku susu kerbau ternyata produk susu yang bernuansa tradisional itu belum populer seperti halnya yoghurt.
Untuk itu dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan dengan starter lactobacillusicu plantarum (dadih) dengan starter lainnya seperti lactobacillus acidephilus, lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus. Pengembangan terhadap produk olahan daging seperti sosis, “nugget“, bakso, abon dan dendeng dari daging kelinci, ayam dan sebagai pembanding yaitu daging sapi yang sudah populer.
Seperti diketahui, bahwa daging ayam, khususnya lagi daging kelinci mempunyai kandungan lemak kolestrolnya lebih rendah, sehingga kedua daging ini mempunyai potensi untuk dikembangkan. Starter bakteri lactobacillus plantarum (dadih) bila dikombinasikan dengan strepto Coccus hermophilus dan Lactobacillus bulgaricus diperoleh citra rasa terbaik atau enak dan sifat−sifat karakteristiknya yang baik dibandingkan bila penggunaan secara tunggal dari lactobacillus plantarum maupun yoghurt kombinasi dari streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus. Daya simpan susu fermentasi pada suhu 4 derajat celcius selama 3 hari akan diperoleh susu yang tetap baik.
Daging yang diolah seperti bakso sapi, abon sapi goreng dan dendeng ayam afkir (ayam yang sudah tua umurnya) adalah paling disukai. Abon yang digoreng ternyata lebih disukai dibandingkan abon yang di sangrai, namun abon yang di sangrai akan diperoleh kadar protein lebih tinggi dan kadar lemaknya lebih rendah dari abon goreng.
Kandungan lemak dari abon goreng dan sangrai dari daging kelinci merupakan yang terendah, namun kadar protein tertinggi berasal dari daging sapi. Selama penyimpanan abon selama satu setengah bulan belum terjadi ketengikan atau bau dengan nilai TBA yang rendah.
Kandungan lemak dendeng kelinci adalah yang tertinggi dan kandungan lemak dendeng sapi adalah yang terendah. Adapun bakso sapi dan bakso ayam afkir diperoleh kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan bakso kelinci. Sedangkan kadar kolestrol dari 3 jenis daging tersebut adalah rendah sekitar 0,97 − 1,63 persen
Starter bakteri Lactobacillus plantarum (dadih) yang merupakan produk olahan susu fermentasi asal Sumatera Barat dapat diaplikasikan ke masyarakat bila dikombinasikan dengan lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus.
Cita rasa dari produk olahan daging kelinci dan daging ayam afkir (ayam yang sudah tua umurnya) ternyata belum menyukai olahan daging sapi namun beberapa produk olahan dari daging kelinci dan daging ayam afkir mempunyai kandungan protein yang tinggi dan rendah lemak, oleh karena itu kedua daging tersebut mempunyai prospek untuk dikembangkan.
Susu merupakan salah satu produk hasil ternak yang penting bagi kehidupan, melalui penyediaan zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan. Namun demikian, susu juga merupakan produk yang mudah rusak, sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan secara cepat. Transportasi dan penyimpanan, merupakan faktor kritis yang berpengaruh terhadap mutu susu.
Usaha−usaha pengolahan susu semakin berkembang pada skala rumah tangga dan skala kecil dengan berbagai ragam produ olahannya. Usaha ini merupakan upaya pengawetan sekaligus untuk memperoleh nilai tambah atau nilai jual yang lebih tinggi, serta mengurangi ketergantungan kepada Koperasi Pengolah Susu (KPS).
Masalah yang dihadapi dalam usaha−usaha skala ini adalah teknologi pengolahan yang umumnya relatif sederhana, dalam arti kurang memperhatikan mutu hasil dan sanitai, dengan berbagai keterbatasan sarana/peralatan. Akibatnya adalah mutu produk yang dihasilkan redah dan atau kurang aman untuk konsumsi (Sirait dkk, 1988).
Berbagai Standar of Procedures (SOP) pengolahan susu telah tersedia, namun bersifat umum dan dengan asumsi bahwa berbagai sarana penunjang telah tersedia, akibatnya sulit untuk dapat diterapkan oleh para pelaku pengolahannya. Diperlukan berbagai teknologi pengolahan yang sesuai untuk setiap skala usaha pengolahan.
Produk susu pasteurisasi, yoghurt, kerupuk susu, karamel, dodol susu adalah contoh−contoh produk olahan susu yang berkembang di sentra−sentra produksi susu seperti di Lembang, Bandung atau daerah−daerah lainnya. Pasteurisasi susu pada umumnya dilakukan dengan pemanasan susu sampai pada suhu tertentu kemudian dikemas. Teknologi ini cukup sederhana, namun masih memungkinkan kontaminasi bakteri dan waktu penyimpanan yang relatif pendek.
Teknik lainnya adalah melalui penambahan aditif terlebih dahulu, selanjutnya dikemas lalu dipanaskan pada air mendidih. Teknik kedua ini lebih menjamin keamanan produk, namun lebih rumit dan pemanasan dapat merusak sebagian aditif, terutama yang bersifat aromatis. Selain itu, hanya dapat dilakukan pada kemasan yang tak rusak karena air panas, seperti botol.
Diperlukan kombinasi teknologi yang dapat menjamin kedua konsentrasi aditif seperti gula, juga berpengaruh terhadap waktu penyimpanan, sedangkan adiktif lainnya berpengaruh terhadap rasa, aroma dan flavor. Penambahan jenis aditif dan konsentrasinya diperlukan untuk menciptakan produk yang lebih bermutu dan disukai.
Susu fermentasi atau lebih dikenal sebagai yoghurt, juga merupakan salah satu produk olahan susu yang semakin populer. Mutu yoghurt, termasuk rasa, aroma dan keawetannya, ditentukan oleh jenis dan mutu bahan baku dan jenis bakteri fermenter (Tamine dan Robinson, 1988 dalam Setiyanto, 1999).
Berbagai jenis bahan baku dan bakteri fermenter serta imbangannya akan dipelajari dalam kegiatan ini. Potensi, peluang, masalah dan kendala yang dihadapi oleh pengolah pada berbagai skala usaha akan dipelajari melalui survey dengan wawancara semi terstruktur dan observasi langsung.
Pengolahan untuk memperoleh teknologi yang lebih baik dipelajari di laboratorium dan didemonstrasikan pada kelompok pengolahan produk susu. Daging yang merupakan produk hasil ternak yang berperanan penting dan dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia, namun juga merupakan produk yang mudah rusak dan busuk, sehingga memerlukan penanganan segera, terutama apabila tak terserap pasar.
Selain itu produk−produk olahan daging ternyata memiliki nilai tambah cukup tinggi, bahkan beberapa diantaranya memiliki potensi ekspor seperti abon dan dendeng. Berbagai produk olahan daging lainnya seperti sosis, nugget, bakso, meat loaf, hamburger dan kornet cukup populer dalam menu makanan masyarakat di Indonesia.
Namun demikian, sebagaimana umumnya terjadi pada usaha−usaha skala rumah tangga, kecil dan menengah, teknologi pengolahan perlu diperbaiki untuk menghasilkan produk yang lebih bermutu dan berdaya saing. Selain itu, keterbatasan ketersediaan daging sapi atau ayam merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan produk olahan daging. Salah satu upaya pemecahan ini adalah melalui daging kelinci.
Kelinci mudah tumbuh dan berkembang biak dalam waktu relatif cepat, sehingga dapat menyediakan daging dalam relaif besar. Masalah yang dihadapi adalah masalah psikis (yang mungkin dapat diatasi dengan membuat produk olahan) dan masih terbatasnya ketersediaan daging kelinci.
Padahal abon dan dendeng kelinci serta pasta hainya merupakan komoditas yang diminati di Hongkong dan Belanda (Widodo, 1992). Selain itu, daging kelinci yang rendah kolesterol dan trigeliserida potensial ditawarkan pada kelompok masyarakat tertentu yang kurang menghendaki kolesterol dan trigeliserida/lemak (monoarfa, 2000).
Secara fisikokimia, emulsi yang dibentuk daging kelinci dalam produk olahan daging, ternyata lebih baik dari daging sapi daa ayam (Whiting dan Jenkins, 1981). Dalam pembuatan sosis, nugget dan kornet diperlukan lemak untuk emulsifikasi. Untuk mempertahankan mutu daging kelinci dan atau ayam yang rendah lemak dan kholesterol, emulsi dapat meningkat untuk kesehatan.
Dalam kegiatan ini dilakukan penelitian terhadap teknologi pembuatan berbagai produk olahan daging kelinci, ayam dan sapi menjadi sosis, nugget dengan aditif omega−3, bakso, dendeng, abon minyak dan tanpa minyak.
Potensi dan kendala pemanfaatan daging kelinci di tingkat peternak dipelajari melalui survey pada sentra−sentra produksi kelinci. Akankan ini menjadi sentra usaha PKPU? Insya Allah suatu saat, SQN akan membuktikannya. (PKPU)
* Farm Manager SQN – PKPU
telah dibaca 3379 kali | kembali ke atas | versi cetak | kirim ke teman
<< sebelumnya | ARSIP | sesudahnya >>
:: RESUME
Susu dan daging adalah salah satu produk hasil ternak dengan kandungan gizi tinggi yang diperlukan agar sehat. Produk olahan susu tradisional telah berkembang di sentra-sentra produk di pangalengan Jawa Barat yaitu karamel, dodol, kerupuk susu.
:: BERITA
* Kamis, 26 Februari 2009 08:04:43
Wagub Bengkulu Resmikan KCP PKPU Bengkulu Utara
* Rabu, 25 Februari 2009 13:09:52
Mobil Klinik Keliling Indosat-PKPU Layani 300 Pasien
* Rabu, 25 Februari 2009 12:56:05
Wakil Gubernur Bengkulu Resmikan KCP PKPU Bengkulu Utara
* Selasa, 24 Februari 2009 16:36:12
Kunjungan Studi Banding LAZIS Baiturrahman ke PKPU
[ index berita ]
copyright (c) 2006 by PKPU
manfaat kemasan
Dari: padli Pandiangan
Kepada: indri.juliyarsi@yahoo.co.id
Terkirim: Minggu, 22 Februari, 2009 21:45:16
Topik: tugas teknologi pengemasan
Tugas Teknologi Pengemasan
Oleh : Padli 06 163 014
Poetry Andalusia 06 163 023
Irdawaty 06 163 025
Dosen : Indri juliyarsi SP,MP
MANFAAT DAN FUNGSI KEMASAN
Kemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan yang memegang peranan penting untuk membantu pengawetan bahan makanan. Adanya wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melayani dari bahaya pencemaran dan gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Disamping itu juga pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu produk agar mempunyai bentuk bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi.
Semua bahan pangan mudah rusak dan ini berarti bahwa dalam jangka waktu penyimpanan tertentu, ada kemungkinan untuk membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah disimpan selama jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi adalah suatu kerusakan. Meskipun demikian sebagian makanan akan menjadi lebih tua atau matang seteaklah dikemas dan memang ada perbaikan dalam waktu singkat tetapi kemudian diikuti dengan kerusakan.
Dampak dari pengemasan
1. PENYIMPANGAN MUTU
penyusutan kualitatif yaitu penyimpangan mutu bahan pangan dan produk olahanya dimana mengalami penurunan mutu sehingga tidak layak lagi dikonsumsi manusia. penyusutankuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot bahan pangan karena penanganan yang kuarang baik maupun akibat gangguan biologis (proses fisiologis atau serangan hewan). Dibanding dari ke-2 penyusutan tersebut yang paling berpengaruh adalah penyusutan kualitatif.
2. PERUBAHAN BIOKIMA, KIMIA DAN MIGRASI UNSUR-UNSUR
1. perubahan biokimiawi : terjadi pada kondisi segar (yang belum diolah), reaksi kompleks terjadi akibat aktifitas enzing yang ditunjang oleh kadar air yang tinggi, menyebabkan perubahan warna, tektur, aroam dan nilai gizinya.
2. perubahan kimiawi dan migrasi unsur-unsur : bahan pewarna, plasticzer, pestisida dapat bermigrasi kebahan pangan, sangat sulit mengukur dan menganalisa tingkat keracunan, untuk itu perlu kemasan yang mencegah migrasi racun kedalam makanan.
Contohnya :
- racunan logam apabila jumlahnya melewati batas ( timah 220 ppm, besi 250 ppm dan timbal 1 ppm),
- kecunan karena migrasi plastik kedalam makanan ( misalnya monomer vinil klorida berpotensi sebagai penyebab kanker.
- difusi dan pindah massa yaitu pendekatan difusi (renbesan) dan pindah massa(absorbsi dan desorpsi) dapat digunakan untuk memahami migrasi dalam kemasan pelastik.
3. KERUSAKAN MIKROBIOLOGIS
kemasan yang baik akan mencegah pencemaran mikroorganisme dan menekan pertumbuhan jasad renik dalam kemasan, hal ini berkaitan dengan aktifitas air.
Faktor faktor yang perlu dipertimbangkan dalam seleksi kemasan:
1. perlindungan isi produk terhadap kontaminasi jasad renik dari luar kedalam
2. kemungkinan berkembangnya jasad renik pada head space
3. serangan jasad renik terhadap materi kemasan
4. KERUSAKAN MEKANIS
Faktor-faktor mekanis yaitu :
1. stress/tekanan fisik, yang menyebabkan dropping dan shunting atau tumbukan menyebabkan kerusakan produk
2. vibrasi( getaran), akibat tranformasi dan distribusi, maka diperlukan bahan anti getar untuk menanggulanginya
E. PERPINDAHAN AIR
Dalam kemasan pangan, karakteristik hidrasi yang menyangkut aw, KA dan RH sangat penting untuk mencapai keseimbangan bila terjadi perbedaan antara produk dan lingkungan maka akan terjadi perpindahan uap air, biasanya berlangsung dari produk yang mempunyai tekanan uap air lebih tinggi ke yang rendah.
Cara-cara perlindungan produk dalam kemasan :
1. mencegah keluarnya uap air yaitu mengatur sirkulasi udara diluar kemasan
2. mengontrol uap air yaitu untuk produk yang dapat berkeringat pada hari panas dan berkondensasi pada hari dingin, maka dilakukan kontrol misalnya dikemas denagn pengemas jenis semi permiabel.
F. PERUBAHAN SUHU
Beberapa perubahan suhu yang dapat terjadi karena fluktuasi suhu adalah :
1. produk yang peka harus disimpan pada suhu -18 sampai 0,50C, untuk mencegah kristalisasies, pertumbuhan bakteri psikrofilik
2. produk konfeksioneri ( seperti coklat batangan) disimpan pada tempat kering dan teduh mencegah blooming yaitu menggumpalnya gula dipermukaan.
3. Produk kaleng/botol, disimpan ditempat yang kering dan suhu rendah, untuk mencegah tumbuhnya bakteri pembentuk spora yang tahan panas.
G. PERPINDAHAN OKSIGEN
Oksigen menyebabkan oksidasi terutama pada produk pangan yang mempunyai kandungan lemak dan vitamin A dan C. Reksi oksidasi menyebabkan perubahan warna, flavor dan dapat dicegah dengan cara :
1. pengaturan kadar oksigen, mengatur konsentrasi oksigen 3-5% untuk susu, minyak dan lemak
2. pengaturan kadar CO2, pengaturan CO2 5-10% kecuali pada buah-buahan yang bersifat asam
3. pengemasan dalam gas tight paks, komoditi seperti keju, makanan bayi sebaiknya dikemas dalam kemasan hermetis dan vakum
H. MIGRASI KOMPONEN VOLATIL DAN PERUBAHAN OLEH U.V
1. migrasi komponen volatil, bahan pangan mempunyai komponen aroamtikmemerlukan kemasan yang dapat mencegah keluarnya komponen volatil( kedap terhadap komponen aromatik meupun kedap terhadap material kemasan). Bau yang berasal dari wadah/ kemasan plastik dapat timbul karena :
1. pembentukan grup karbonil apabila plastik PE dipanaskan pada suhu tinggi
2. zat anti oksidan yang dapat mengadakan interaksi dan membentuk produk yang berbau.
3. Pecahan pecahan molekul kemasan
3.perubahan akibat sinar U.V, makanan yang peka terhadap U.Vsebaiknya disimpan ditempat teduh karena akan mengakibatkan terjadinya perubahan :
a. pemudaran warna seperti daging, saus tomat
b. ketengikan pada mentega ( terutama jika terdapat katalis Cu)
c. browing pada sangkur dan juice buah-buahan
d. perubahan bau( menjadi rusak) menurunya vitamin A,D,E, K dan C serta penyimpanan aroma bir
perlindungan produk terhadap U.V dilakukan dengan menggunakan botol berwarna (coklat atau hijau).
Jadi semua permasalahan yang berhubungan dengan pengemasan pangan pertimbangan pertama harus tentang proses kerusakan dan pembusukan produk itu sendiri. Cara terjadinya kerusakan harus diteliti dan pengaruh cara distribusi seperti kondisi transpor, penyimpanan, dan penjualan, dimana kerusakan akan terjadi harus dapat diduga.
Kepada: indri.juliyarsi@yahoo.co.id
Terkirim: Minggu, 22 Februari, 2009 21:45:16
Topik: tugas teknologi pengemasan
Tugas Teknologi Pengemasan
Oleh : Padli 06 163 014
Poetry Andalusia 06 163 023
Irdawaty 06 163 025
Dosen : Indri juliyarsi SP,MP
MANFAAT DAN FUNGSI KEMASAN
Kemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan yang memegang peranan penting untuk membantu pengawetan bahan makanan. Adanya wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melayani dari bahaya pencemaran dan gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Disamping itu juga pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu produk agar mempunyai bentuk bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi.
Semua bahan pangan mudah rusak dan ini berarti bahwa dalam jangka waktu penyimpanan tertentu, ada kemungkinan untuk membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah disimpan selama jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi adalah suatu kerusakan. Meskipun demikian sebagian makanan akan menjadi lebih tua atau matang seteaklah dikemas dan memang ada perbaikan dalam waktu singkat tetapi kemudian diikuti dengan kerusakan.
Dampak dari pengemasan
1. PENYIMPANGAN MUTU
penyusutan kualitatif yaitu penyimpangan mutu bahan pangan dan produk olahanya dimana mengalami penurunan mutu sehingga tidak layak lagi dikonsumsi manusia. penyusutankuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot bahan pangan karena penanganan yang kuarang baik maupun akibat gangguan biologis (proses fisiologis atau serangan hewan). Dibanding dari ke-2 penyusutan tersebut yang paling berpengaruh adalah penyusutan kualitatif.
2. PERUBAHAN BIOKIMA, KIMIA DAN MIGRASI UNSUR-UNSUR
1. perubahan biokimiawi : terjadi pada kondisi segar (yang belum diolah), reaksi kompleks terjadi akibat aktifitas enzing yang ditunjang oleh kadar air yang tinggi, menyebabkan perubahan warna, tektur, aroam dan nilai gizinya.
2. perubahan kimiawi dan migrasi unsur-unsur : bahan pewarna, plasticzer, pestisida dapat bermigrasi kebahan pangan, sangat sulit mengukur dan menganalisa tingkat keracunan, untuk itu perlu kemasan yang mencegah migrasi racun kedalam makanan.
Contohnya :
- racunan logam apabila jumlahnya melewati batas ( timah 220 ppm, besi 250 ppm dan timbal 1 ppm),
- kecunan karena migrasi plastik kedalam makanan ( misalnya monomer vinil klorida berpotensi sebagai penyebab kanker.
- difusi dan pindah massa yaitu pendekatan difusi (renbesan) dan pindah massa(absorbsi dan desorpsi) dapat digunakan untuk memahami migrasi dalam kemasan pelastik.
3. KERUSAKAN MIKROBIOLOGIS
kemasan yang baik akan mencegah pencemaran mikroorganisme dan menekan pertumbuhan jasad renik dalam kemasan, hal ini berkaitan dengan aktifitas air.
Faktor faktor yang perlu dipertimbangkan dalam seleksi kemasan:
1. perlindungan isi produk terhadap kontaminasi jasad renik dari luar kedalam
2. kemungkinan berkembangnya jasad renik pada head space
3. serangan jasad renik terhadap materi kemasan
4. KERUSAKAN MEKANIS
Faktor-faktor mekanis yaitu :
1. stress/tekanan fisik, yang menyebabkan dropping dan shunting atau tumbukan menyebabkan kerusakan produk
2. vibrasi( getaran), akibat tranformasi dan distribusi, maka diperlukan bahan anti getar untuk menanggulanginya
E. PERPINDAHAN AIR
Dalam kemasan pangan, karakteristik hidrasi yang menyangkut aw, KA dan RH sangat penting untuk mencapai keseimbangan bila terjadi perbedaan antara produk dan lingkungan maka akan terjadi perpindahan uap air, biasanya berlangsung dari produk yang mempunyai tekanan uap air lebih tinggi ke yang rendah.
Cara-cara perlindungan produk dalam kemasan :
1. mencegah keluarnya uap air yaitu mengatur sirkulasi udara diluar kemasan
2. mengontrol uap air yaitu untuk produk yang dapat berkeringat pada hari panas dan berkondensasi pada hari dingin, maka dilakukan kontrol misalnya dikemas denagn pengemas jenis semi permiabel.
F. PERUBAHAN SUHU
Beberapa perubahan suhu yang dapat terjadi karena fluktuasi suhu adalah :
1. produk yang peka harus disimpan pada suhu -18 sampai 0,50C, untuk mencegah kristalisasies, pertumbuhan bakteri psikrofilik
2. produk konfeksioneri ( seperti coklat batangan) disimpan pada tempat kering dan teduh mencegah blooming yaitu menggumpalnya gula dipermukaan.
3. Produk kaleng/botol, disimpan ditempat yang kering dan suhu rendah, untuk mencegah tumbuhnya bakteri pembentuk spora yang tahan panas.
G. PERPINDAHAN OKSIGEN
Oksigen menyebabkan oksidasi terutama pada produk pangan yang mempunyai kandungan lemak dan vitamin A dan C. Reksi oksidasi menyebabkan perubahan warna, flavor dan dapat dicegah dengan cara :
1. pengaturan kadar oksigen, mengatur konsentrasi oksigen 3-5% untuk susu, minyak dan lemak
2. pengaturan kadar CO2, pengaturan CO2 5-10% kecuali pada buah-buahan yang bersifat asam
3. pengemasan dalam gas tight paks, komoditi seperti keju, makanan bayi sebaiknya dikemas dalam kemasan hermetis dan vakum
H. MIGRASI KOMPONEN VOLATIL DAN PERUBAHAN OLEH U.V
1. migrasi komponen volatil, bahan pangan mempunyai komponen aroamtikmemerlukan kemasan yang dapat mencegah keluarnya komponen volatil( kedap terhadap komponen aromatik meupun kedap terhadap material kemasan). Bau yang berasal dari wadah/ kemasan plastik dapat timbul karena :
1. pembentukan grup karbonil apabila plastik PE dipanaskan pada suhu tinggi
2. zat anti oksidan yang dapat mengadakan interaksi dan membentuk produk yang berbau.
3. Pecahan pecahan molekul kemasan
3.perubahan akibat sinar U.V, makanan yang peka terhadap U.Vsebaiknya disimpan ditempat teduh karena akan mengakibatkan terjadinya perubahan :
a. pemudaran warna seperti daging, saus tomat
b. ketengikan pada mentega ( terutama jika terdapat katalis Cu)
c. browing pada sangkur dan juice buah-buahan
d. perubahan bau( menjadi rusak) menurunya vitamin A,D,E, K dan C serta penyimpanan aroma bir
perlindungan produk terhadap U.V dilakukan dengan menggunakan botol berwarna (coklat atau hijau).
Jadi semua permasalahan yang berhubungan dengan pengemasan pangan pertimbangan pertama harus tentang proses kerusakan dan pembusukan produk itu sendiri. Cara terjadinya kerusakan harus diteliti dan pengaruh cara distribusi seperti kondisi transpor, penyimpanan, dan penjualan, dimana kerusakan akan terjadi harus dapat diduga.
KEPUTUSAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP. 01/MEN/2007
TENTANG
PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN
DAN DISTRIBUSI
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan nasional dan
internasional dipandang perlu mengatur
persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan pada proses produksi, pengolahan dan
distribusi;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002
tentang Usaha Perikanan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan;
6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 20/P tahun 2005;
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94
Tahun 2006;
8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang
Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2006;
9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.13/MEN/2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI,
PENGOLAHAN, DAN DISTRIBUSI.
PERTAMA : Menetapkan persyaratan jaminan mutu dan keamanan
hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan
distribusi sebagaimana tersebut dalam Lampiran yang
tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
KEDUA : Persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan
distribusi sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA
dipergunakan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan sesuai standar nasional
dan internasional.
KETIGA : Agar dalam pelaksanaan Keputusan ini dapat berjalan
secara efisien dan efektif, menugaskan kepada Otoritas
Kompeten untuk melakukan komunikasi dan sosialisasi
kepada seluruh pemangku kepentingan atas hal-hal
yang berkaitan dengan ketentuan baru dalam
Keputusan ini.
KEEMPAT Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,
dengan ketentuan terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya,
pemangku kepentingan wajib menyesuaikan dengan
Keputusan ini selambat-lambatnya sampai dengan
tanggal 31 Juli 2007.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Januari 2007
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
ttd
FREDDY NUMBERI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
NARMOKO PRASMADJI
LAMPIRAN : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Nomor KEP. 01/MEN/2007
Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi,
Pengolahan, dan Distribusi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis
dalam pembangunan perekonomian nasional terutama dalam
meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan,
dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil,
pembudidaya ikan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang
perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan
ketersediaan sunber daya ikan.
Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan Indonesia
harus dapat mengikuti persyaratan yang dapat menjamin mutu dan
keamanan yang diinginkan oleh konsumen sehingga dapat bersaing di
pasar Internasional yang akhirnya akan menjaga kestabilan dan
meningkatkan produksi dan sekaligus pemasaran hasil perikanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu
dan Gizi Pangan telah ditetapkan agar produk pangan dalam hal ini
hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus
mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat
menjamin kesehatan manusia.
Dengan adanya undang-undang dan peraturan Pemerintah diatas
perlu adanya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang
menetapkan tentang persyaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di
Produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan pengangkut
ikan, tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, unit pengolah
ikan, sarana distribusi hasil perikanan dan lain-lain yang terkait dengan
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud ditetapkannya Keputusan ini untuk mengatur persyaratan
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi,
pengolahan dan distribusi.
2. Tujuan ditetapkannya Keputusan ini untuk mendapatkan hasil
perikanan dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Keputusan ini meliputi:
1. Kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan;
2. Tempat pendaratan ikan;
3. Tempat pelelangan ikan;
4. Unit pengolahan ikan;
5. Sarana distribusi hasil perikanan;
6. Pelatihan;
7. Lain-lain;
8. Sanksi, dan
9. Penutup.
D. Pengertian
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Produksi adalah rangkaian kegiatan penangkapan di laut dan
perairan umum termasuk kekerangan hidup.
2. Pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan atau perlakuan dari
bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk menjadi
konsumsi manusia.
3. Distribusi adalah rangkaian kegiatan penyaluran hasil perikanan
dari suatu tempat ke tempat lain sejak produksi, pengolahan sampai
pemasaran.
4. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang secara khusus
dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung,
menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan.
5. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang secara khusus
dipergunakan untuk mengangkut ikan, termasuk memuat,
menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan.
6. Unit Pengolahan Ikan adalah tempat usaha yang digunakan
untuk menangani dan mengolah ikan.
7. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
8. Hasil Perikanan adalah ikan yang ditangani dan/atau diolah untuk
konsumsi manusia.
9. Produk Perikanan adalah setiap bentuk produk pangan berupa
ikan utuh atau produk yang mengandung bagian ikan, termasuk
produk yang sudah diolah dengan cara apapun yang berbahan baku
utama ikan.
10. Keamanan Hasil dan Produk Perikanan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah hasil dan produk perikanan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan tidak
akan membahayakan konsumen.
11. Higiene Hasil Perikanan adalah upaya dan persyaratan yang
diperlukan untuk mengendalikan bahaya dan memastikan aman bagi
konsumsi manusia bila dikonsumsi sesuai tujuan penggunaan.
12. Laboratorium adalah suatu ruangan atau tempat yang digunakan
untuk melakukan kegiatan monitoring dan atau pengujian terhadap
mutu produk bahan baku, semi produk dan produk akhir serta
substansi bahaya selama proses produksi.
13. Sistem Jaminan Keamanan Hasil Perikanan adalah upayaupaya
yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi
sampai dengan pendistribusian untuk memperoleh hasil perikanan
yang memenuhi persyaratan keamanan hasil perikanan konsumsi
14. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah sistem
manajemen keamanan pangan yang mendasarkan kesadaran bahwa
dapat timbul pada tahap-tahap proses, namun dapat dikendalikan
melalui tindakan pencegahan dan pengendalian titik-titik kritis.
15. GHdP (Good Handling Practices) adalah pedoman dan tata cara
penanganan ikan hasil tangkapan, termasuk pembongkaran dari
kapal yang baik untuk memenuhi persyaratan jaminan mutu dan
keamanan hasil penangkapan termasuk kekerangan hidup.
16. GDP (Good Distribution Practices) adalah pedoman dan tata
cara pendistribusian ikan yang baik;
17. SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure) adalah
pedoman persyaratan sanitasi unit pengolahan ikan.
18. Program Persyaratan Dasar (Pre Requisite Programs) adalah
persyaratan dasar penerapan higiene pada semua unit dan atau
sarana yang terkait pada penanganan dan pengolahan hasil
perikanan.
19. GMP (Good Manufacturing Practices) adalah pedoman
persyaratan dan tata cara berproduksi yang baik bagi suatu unit
pengolahan ikan.
20. GLP (Good Laboratory Practices) adalah pedoman persyaratan
dan tata cara berlaboratorium yang baik.
21. Nomor Registrasi adalah nomor yang diberikan kepada unit
pengolahan yang telah memenuhi persyaratan sanitasi dan teknik
pengolahan untuk memberikan jaminan mutu kepada konsumen.
22. Pendinginan adalah proses penurunan suhu hasil perikanan
sampai mendekati suhu titik leleh es.
23. Produk Segar adalah setiap produk perikanan baik utuh atau
produk yang mengalami perlakuan pembuangan isi perut, insang,
pemotongan kepala, dan pemfilletan (produk preparasi), termasuk
produk yang dikemas secara vacuum atau modifikasi atmosfir yang
belum mengalami perlakuan pengawetan selain pendinginan.
24. Produk Olahan adalah setiap hasil perikanan yang telah
mengalami proses kimia atau fisika seperti pemanasan, pengasapan,
penggaraman, pengeringan atau pengacaran dan lain-lain, baik
yang berasal dari produk yang didinginkan atau produk beku, baik
yang dikombinasikan dengan bahan makanan lain atau kombinasi
dari beberapa proses.
25. Produk Beku adalah setiap hasil perikanan yang telah mengalami
proses pembekuan untuk mencapai suhu pusat ikan -18°C atau
lebih rendah.
26. Pengepakan adalah suatu kegiatan untuk membungkus atau
menempatkan hasil perikanan ke dalam suatu wadah dengan
menggunakan bahan pengepak yang memenuhi persyaratan.
27. Partai Produk adalah sejumlah hasil perikanan yang dihasilkan
pada kondisi yang sama.
28. Air Laut Bersih adalah air laut yang bebas dari kontaminasi
mikrobiologi, bahan-bahan yang berbahaya dan/atau plankton laut
beracun dalam jumlah tertentu yang dapat mempengaruhi
keamanan dan mutu hasil perikanan.
29. Kekerangan adalah moluska jenis filter feeding lamellibranch.
30. Pusat Pengiriman Kekerangan (Dispatch Center) adalah
tempat di laut atau di darat untuk penerimaan, pengkondisian,
pembersihan, pencucian, grading, pengemasan dan pengepakan
kekerangan hidup untuk tujuan keamanan produk layak konsumsi
manusia (fit for human consumption).
31. Toksin hayati adalah senyawa beracun yang terakumulasi dalam
kekerangan yang memakan plankton yang mengandung racun.
32. Daerah Pertumbuhan adalah perairan tempat kehidupan
kekerangan secara alami atau perairan atau muara sungai yang
menghasilkan kekerangan atau suatu tempat yang digunakan untuk
membudidayakan kekerangan.
33. Pemberokan adalah kegiatan pemindahan tempat hidup bagi
kekerangan yang dipanen/ditangkap dari perairan klasifikasi
terbatas (C) untuk kurun waktu tertentu sehingga kekerangan
terbebas dari cemaran dan aman untuk dikonsumsi.
34. Purifikasi adalah suatu proses pembersihan dengan menggunakan
sirkulasi ulang untuk meminimalkan cemaran mikroba,kotoran,
logam berat dan lain-lain.
35. Perairan Tercemar adalah masuknya mahkluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam perairan oleh kegiatan manusia
baik sengaja atau tidak, sehingga kualitasnya turun ke tingkat
tertentu yang menyebabkan perairan tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.
36. Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk
melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem
mutu oleh pelaku usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka
memberi jaminan mutu mutu dan keamanan hasil perikanan.
37. Audit adalah Pemeriksaan secara sistematis dan independen untuk
mengetahui apakah aktifitas dan hasil-hasilnya sesuai dengan
manual dan apakah manual dilaksanakan secara efektif sehingga
hasilnya mencapai tujuan.
38. Inspeksi adalah pemeriksaan terhadap suatu unit
produksi/pengolahan dan manajemennya termasuk sistem produksi,
dokumen, pengujian produk, asal dan tujuan produk, input dan
output dalam rangka melakukan verifikasi.
39. Inspektur adalah perseorangan yang mempunyai kompetensi
melakukan pengendalian keamanan pangan sesuai dengan
persyaratan inspektur dan yang ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan yang bertugas melakukan inspeksi dalam rangka
pengendalian keamanan pangan hasil perikanan.
40. Verifikasi adalah aplikasi metode, prosedur, testing dan evaluasi
lainnya utk memverifikasi bahwa Rencana HACCP yang dibuat
adalah sesuai dengan alur produksi, dan menilai apakah operasi
proses produksi sesuai dengan Rencana HACCP.
41. Ketertelusuran (Traceability) adalah kemampuan untuk
menelusuri riwayat, aplikasi atau lokasi dari suatu produk atau
kegiatan untuk mendapatkan kembali data dan informasi melalui
suatu identifikasi dokumen yang terkait.
42. Otoritas Kompeten (Competent Authority) adalah adalah pihak
Pemerintah yang mempunyai otoritas (kewenangan) untuk
melakukan pengendalian mutu mencakup verifikasi dan hal-hal
yang berkaitan dengan kewenangannya.
43. Komisi Approval (Approval Commission) adalah sekelompok
orang yang mempunyai keahlian di bidang Pengendalian mutu dan
keamanan Hasil Perikanan yang diberi kewenangan untuk
memberikan persetujuan (approved) dalam hal sertifikasi.
44. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
perikanan.
45. Dinas adalah unit kerja di tingkat Provinsi yang bertanggung jawab
di bidang perikanan dan kelautan.
BAB II
KAPAL PENANGKAP IKAN DAN KAPAL PENGANGKUT IKAN
A. Persyaratan Umum Kapal Penangkap Ikan dan Kapal
Pengangkut Ikan
Persyaratan Umum Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal penangkap dan pengangkut ikan yang digunakan untuk
melakukan penangkapan dan penanganan di atas kapal harus
memenuhi persyaratan ketentuan sanitasi dan hygiene kapal
perikanan.
2. Kapal ikan harus didesain dan dikonstruksi sehingga tidak
menyebabkan kontaminasi produk dari air kotor, limbah, asap,
minyak, oli, gemuk atau bahan-bahan lain.
3. Permukaan kontak langsung dengan produk harus dibuat dari bahan
yang tidak korosif yang halus dan mudah dibersihkan. Permukaan
yang menggunakan pelapis harus tahan/kuat dan tahan lama serta
tidak toksin.
4. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk menangani ikan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah karat yang mudah dibersihkan
dan disanitasi.
5. Bila kapal penangkap dan/atau pengangkut ikan mempunyai
penampung air untuk penanganan ikan, maka harus ditempatkan
pada lokasi yang terhindar dari kontaminasi.
B. Persyaratan Khusus Struktur dan Peralatan Kapal Penangkap
dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Khusus Struktur dan Peralatan Kapal Penangkap dan
Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal ikan yang didesain dan dilengkapi peralatan untuk
mempertahankan kesegaran ikan selama penangkapan hingga 24
jam.
a. Kapal yang didesain dan dilengkapi peralatan untuk menjaga
kesegaran ikan hingga 24 jam harus dilengkapi peralatan palka,
tanki atau wadah untuk menyimpan ikan dan menjaga suhu
pendinginannya pada titik leleh es.
b. Palka harus terpisah dari ruang mesin dan ruang anak buah
kapal untuk menjaga kontaminasi. palka, tangki atau wadah
yang digunakan harus menjamin bahwa kondisi penyimpanan
dalam menjaga kesegaran ikan memenuhi persyaratan higienis.
c. Kapal yang dilengkapi dengan pendingin dengan air laut bersih
dingin, tangki harus dilengkapi dengan peralatan yang
menjamin kondisi suhu yang merata pada seluruh bagian tangki
dengan suhu < 3oC setelah 6 jam setelah ikan ditangkap dan <
6oC. Kondisi suhu dimonitor dan dicatat.
2. Persyaratan kapal dilengkapi dengan pembeku (freezer), kapal
penangkap dan pengangkut ikan dengan freezer harus:
a. Memiliki peralatan pembekuan yang cukup kapasitas untuk
menurunkan suhu secara cepat sehingga mencapai suhu pusat
ikan sama atau kurang dari -18 °C;
b. Mempunyai peralatan pembekuan yang cukup untuk menjaga
produk dalam palka tidak lebih besar dari -18oC. Ruang
penyimpanan harus dilengkapi dengan alat pencatat suhu yang
ditempatkan pada tempat yang mudah dibaca. Sensor suhu
harus ditempatkan pada tempat suhu tertinggi di dalam palka.
C. Registrasi Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan
Registrasi Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal penangkap dan pengangkut ikan yang telah menerapkan
persyaratan diberikan nomor registrasi.
2. Kapal penangkap dan pengangkut ikan wajib menerapkan
persyaratan higiene kapal ikan.
3. Kapal penangkap dan pengangkut ikan wajib menempatkan
penanggung jawab mutu di atas kapal dan memiliki sertifikat
pengolah ikan (SPI).
4. Persyaratan dan tata cara penempatan penanggung jawab mutu di
atas kapal dan pemberian nomor registrasi ditetapkan lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
5. Persyaratan dan tata cara pemberian SPI sebagaimana angka 3
ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan.
D. Persyaratan Higiene Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Higiene Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Setiap kapal penangkap dan pengangkut ikan harus memenuhi
persyaratan higiene dan penerapan sistem rantai dingin.
2. Ketika digunakan, bagian-bagian dari kapal atau wadah untuk
penyimpan hasil tangkap harus dijaga kebersihannya dan dijaga
selalu dalam kondisi baik, terutama tidak terkontaminasi bahan
bakar dan air kotor.
3. Segera setelah diangkat ke geladak, produk perikanan harus dijaga
dari kontaminasi dan dari akibat panas matahari atau sumber panas
lainnya. Ketika ikan dicuci, air yang digunakan adalah air minum
atau dengan air laut bersih.
4. Produk hasil tangkap harus ditangani dan disimpan sehingga
terhindar dari memar. Penanganan menggunakan ganco untuk
menangani ikan besar harus dijaga agar tidak melukai daging ikan.
5. Produk perikanan yang tidak disimpan dalam keadaan hidup harus
segera didinginkan setelah naik ke kapal penangkap dan/atau
pengangkut ikan.
6. Es yang digunakan untuk pendinginan ikan harus terbuat dari air
minum atau air laut bersih.
7. Bila ikan dipotong kepala dan/atau dihilangkan isi perut, maka
kegiatan tersebut harus dilakukan secara higienis setelah
penangkapan, dan produk harus dicuci segera dan menyeluruh
dengan air minum atau air laut bersih. Isi perut dan bagian lain
yang dapat mengakibatkan bahaya kesehatan harus segera
disingkirkan. Hati dan telur yang dapat dikonsumsi harus disimpan
dengan es pada suhu dingin (chilling), atau dibekukan.
8. Jika menggunakan pembekuan dengan air garam (brine) untuk ikan
utuh sebagai bahan baku pengalengan, suhu tidak boleh lebih besar
dari -9oC pada pusat ikan. Air garam harus tidak menjadi sumber
kontaminasi ikan.
E. Persyaratan Hygiene Terhadap Penanganan di Kapal
Penangkap dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Hygiene Terhadap Penanganan di Kapal Penangkap dan
Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Penanggung jawab penanganan ikan di kapal penangkap dan
pengangkut ikan harus bertanggung jawab dalam menerapkan cara
pananganan ikan yang baik;
2. Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus
mempunyai kewenangan untuk menjamin bahwa persyaratanpersyaratan
yang tercantum dalam ketentuan ini diterapkan;
3. Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1 juga
menyediakan program pengendalian bagi Inspektur hasil perikanan
untuk tujuan pemeriksaan mutu di atas kapal penangkap dan/atau
pengangkut ikan serta menyediakan lembaran catatan yang meliputi
lembaran komentar inspektur dan pencatatan suhu;
4. Kondisi umum hygiene tempat dan peralatan harus mempunyai
kondisi yang hygienis;
5. Karyawan yang menangani langsung hasil perikanan di atas kapal
harus menggunakan pakaian kerja yang bersih dan tutup kepala
sehingga menutupi rambut secara sempurna;
6. Karyawan yang menangani hasil perikanan harus mencuci tangan
sebelum memulai pekerjaan;
7. Karyawan yang sedang mengalami luka tangan tidak boleh
menangani produk;
8. Tidak diperbolehkan merokok, meludah, makan dan minum diruang
kerja dan di tempat penyimpanan produk;
9. Pembuangan kepala dan isi perut harus dilakukan secara higienis
dan segera dicuci dengan air minum dan atau air laut bersih;
10. Hasil perikanan yang dibungkus dan dikemas harus dilakukan pada
kondisi yang higienis untuk menghindari kontaminasi;
11. Bahan kemasan dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil
perikanan harus memenuhi persyaratan higiene, dan khususnya:
a. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil
perikanan;
b. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia;
c. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan.
12. Penyimpanan hasil perikanan di atas kapal harus dijaga suhunya
sesuai dengan persyaratan, khususnya:
a. Hasil perikanan segar atau dilelehkan termasuk krustasea rebus
yang didinginkan dan produk kekerangan harus disimpan pada
suhu leleh es;
b. Hasil perikanan beku, kecuali ikan beku yang menggunakan air
garam untuk keperluan pengalengan, harus dipertahankan pada
suhu pusat -18°C atau lebih rendah, untuk semua bagian
produk dengan fluktuasi tidak lebih dari 3°C selama
pengangkutan;
13. Pelaku usaha penangkapan dan pengangkutan ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana pasal 5 hingga 9;
b. pelaku usaha Penangkapan dan pengangkutan ikan harus
mendokumentasikan GHdP yang diterapkan.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB III
TEMPAT PENDARATAN IKAN
A. Bongkar Muat Ikan
Pelaku usaha dalam melakukan bongkar muat produk perikanan di
tempat pendaratan ikan wajib:
1. Memastikan bahwa bongkar muat dan peralatan pendaratan yang
berhubungan langsung dengan produk perikanan terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan dan disanitasi serta dijaga tetap dalam
keadaan baik terpelihara atau dibersihkan;
2. Menghindari kontaminasi produk perikanan selama bongkar muat
dan pendaratan khususnya dengan cara:
a. melakukan operasi bongkar muat dan pendaratan dengan
cepat;
b. menempatkan produk perikanan dan tidak terlambat dalam
melakukan perlindungan suhu sebagaimana yang
dipersyaratkan; dan
c. tidak menggunakan peralatan dan perlakuan yang
menyebabkan hal-hal kerusakan yang tidak diinginkan pada
bagian produk perikanan.
B. Penyimpanan dan Pengangkutan
Kegiatan penyimpanan dan pengangkutan hasil perikanan dilakukan
dengan:
1. Sistem rantai dingin;
2. Menjaga suhu selama penyimpanan dan pengangkutan sesuai
dengan persyaratan yang berlaku, meliputi:
a. hasil perikanan segar atau dilelehkan termasuk crustacean rebus
yang didinginkan dan produk kekerangan harus disimpan pada
suhu leleh es;
b. hasil perikanan beku, kecuali ikan beku yang menggunakan air
garam untuk keperluan pengalengan, harus dipertahankan pada
suhu pusat -18° C atau lebih rendah, untuk semua bagian
produk dengan fluktuasi tidak lebih dari 3°C selama
pengangkutan;
c. jika produk perikanan disimpan dalam es, lelehan air es harus
tidak menggenangi produk.
3. Diangkut dari cold storage ke UPI untuk dilelehkan pada saat
penerimaan untuk tujuan preparasi dan/atau pengolahan, di mana
jarak yang ditempuh singkat, tidak melebihi 50 km atau 1 jam
perjalanan;
4. Diangkut atau disimpan dengan produk lain yang dapat
mengakibatkan kontaminasi atau mempengaruhi higiene tidak
diperkenankan kecuali, produk tersebut dikemas sedemikian rupa,
sehingga mampu melindungi produk tersebut;
5. Menggunakan kendaraan pengangkut hasil perikanan dengan
kontruksi dan dilengkapi peralatan sedemikian rupa, sehingga suhu
dapat dijaga selama pengangkutan. Jika es digunakan untuk
pendinginan maka harus ada saluran pembuangan untuk menjamin
lelehan es tidak menggenangi produk. Permukaan bagian dalam dari
alat transportasi harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
merusak produk, di mana permukaannya harus rata, mudah
dibersihkan, dan disanitasi;
6. Menggunakan alat pengangkut yang tidak dapat mengkontaminasi
produk hasil perikanan;
7. Tidak boleh diangkut dengan menggunakan kendaraan atau wadah
yang tidak bersih kecuali disanitasi terlebih dahulu;
8. Persyaratan pengangkutan hasil perikanan yang dipasarkan dalam
keadaan hidup harus tidak berpengaruh buruk terhadap hasil
perikanan tersebut;
9. Pelaku usaha penyimpanan dan pengangkutan Ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 8;
b. pelaku usaha penyimpanan dan pengangkutan Ikan harus
menerapkan dan mendokumentasikan GHdP.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB IV
TEMPAT PELELANGAN IKAN
A. Persyaratan Tempat Pelelangan Ikan
Persyaratan Tempat Pelelangan Ikan meliputi:
1. Tempat pelelangan ikan harus memenuhi persyaratan:
a. terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk
dibersihkan;
b. mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan
disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan
mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higiene;
c. dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan
dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan
harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering
sekali pakai;
d. mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam
pengawasan hasil perikanan;
e. kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat
mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada
dalam Tempat Pelelangan Ikan/pasar grosir;
f. dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan;
wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air
laut bersih;
g. dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah,
makan dan minum, dan diletakkan di tempat yang mudah
dilihat dengan jelas;
h. mempunyai fasilitas pasokan air bersih dan atau air laut bersih
yang cukup;
i. mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air
untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk
dimakan;
2. Tempat pelelangan ikan harus memenuhi persyaratan higiene dan
penerapan sistem rantai dingin;
3. Pelaku usaha perikanan yang bertanggungjawab pada pelelangan
dan pasar induk atau pasar lainnya yang memaparkan produk,
harus memenuhi persyaratan berikut:
a. harus mempunyai fasilitas penyimpanan dingin yang dapat
dikunci untuk menyimpan produk perikanan dan mempunyai
fasilitas wadah untuk produk yang tidak layak konsumsi pada
tempat yang diberi tanda;
b. mempunyai tempat khusus untuk unit pengendalian kemanan
hasil perikanan.
4. Pada saat memaparkan atau menyimpan hasil perikanan:
a. peralatan harus tidak digunakan untuk tujuan lain;
b. kendaraan yang mengeluarkan asap yang dapat mempengaruhi
produk tidak boleh mengkontaminasi ruangan peralatan
tersebut;
c. personil yang mempunyai akses ke ruang peralatan tidak
diperbolehkan memasukkan binatang lain, dan
d. peralatan harus memungkinkan dilakukan pengendalian oleh
Otoritas Kompeten.
5. Jika pendinginan tidak memungkinkan dilakukan di atas kapal, ikan
segar harus didinginkan sesegera mungkin dan disimpan dengan
susu mendekati suhu leleh es;
6. Pelaku usaha perikanan harus bekerjasama dengan otoritas
kompeten sehingga memungkinkan petugas pengawas mutu dapat
melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
7. Tempat Pelelangan Ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana pada angka 1 hingga 6;
b. tempat Pelelangan Ikan harus menerapkan dan
mendokumentasikan GHdP.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB V
UNIT PENGOLAHAN IKAN
A. Pelaku Usaha Perikanan
Pelaku usaha perikanan pada tahap pengolahan:
1. Harus memenuhi persyaratan umum hygiene sesuai dengan
peraturan yang berlaku;
2. Harus mengadopsi dan menerapkan persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai dengan kriteria mikrobiologi, kimia, dan fisik untuk hasil
perikanan;
b. prosedur yang diperlukan untuk mencapai target yang
ditetapkan oleh peraturan ini;
c. sesuai dengan persyaratan pengendalian suhu pada hasil
perikanan;
d. menjaga rantai dingin hasil perikanan;
e. pengambilan contoh dan pengujian.
3. Harus memenuhi kriteria, persyaratan dan target pada butir 2 harus
diadopsi berdasarkan standar dan peraturan spesifik produk yang
sesuai;
4. Bila peraturan yang ada tidak spesifik dan tidak mencakup suatu
produk perikanan, maka pelaku usaha dapat menggunakan standar
internasional, atau metode yang dikembangkan sendiri dengan
validasi ilmiahnya sesuai dengan standar atau pedoman
internasional;
5. a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 4;
b. mendokumentasikan sistem manajemen keamanan pangannya
yang mencakup GMP, SSOP dan panduan mutu rencana HACCP
yang diterapkan.
c. menjamin bahwa dokumen panduan mutu dan dokumen lainnya
yang dikembangkan selalu dijaga tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode waktu
tertentu.
B. Persyaratan Bangunan, Peralatan dan Karyawan
Persyaratan Bangunan, Peralatan dan Karyawan yang meliputi:
1. Unit Pengolahan Ikan (UPI) harus memenuhi persyaratan fasilitas
minimal sebagai berikut:
a. ruang kerja yang cukup untuk melakukan kegiatan harus
mempunyai kondisi yang higiene;
b. bangunan dan peralatan harus mampu menghindari kontaminasi
terhadap produk dan terpisah antara bagian yang bersih dan
yang terkontaminasi.
2. Unit pengolahan harus dibangun di lokasi yang tidak tercemar dan
yang menjamin tersedianya ikan yang bermutu baik;
3. Bangunan unit pengolahan dan sekitarnya harus dirancang dan
ditata dengan konstruksi sedemikian rupa sehingga memenuhi
persyaratan sanitasi;
4. Setiap unit pengolahan harus memiliki laboratorium yang dapat
digunakan untuk menunjang pengendalian mutu secara mandiri;
5. Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata
sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang
menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang
dan mudah dibersihkan;
6. Peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan
ikan yang diolah harus terbuat dari bahan tahan karat, tidak
menyerap air, mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan
kontaminasi sesuatu apapun terhadap bahan baku yang sedang
diolah maupun produk akhir serta dirancang sesuai persyaratan
sanitasi;
7. Peralatan dan perlengkapan yang dipakai untuk menangani bahan
bukan makanan atau bahan yang dapat menyebabkan kontaminasi
baik secara langsung maupun tidak langsung, harus diberi tanda
dan dipisahkan dengan jelas supaya tidak dipergunakan untuk
menangani ikan, bahan penolong, bahan tambahan makanan serta
produk akhir;
8. Bangunan unit pengolahan, perlengkapan, peralatan serta semua
sarana fisik yang digunakan harus dirawat, dibersihkan dan
dipelihara secara saniter dengan tertib dan teratur;
9. Pembuangan kotoran atau limbah (padat, cair atau gas) dari
lingkungan kerja harus dilakukan dengan sempurna dan memenuhi
ketentuan yang berlaku;
10. Pestisida, fumigan, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam
ruangan terpisah dan hanya ditangani di bawah pengawasan
petugas yang mengetahui tentang bahayanya untuk menghindari
kontaminasi terhadap produk dan penggunaannya harus dalam
batas-batas yang tidak membahayakan kesehatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan;
11. Tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah masuknya
orang yang berpenyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit
menular, serangga, tikus, burung dan hama lainnya serta binatang
peliharaan ke dalam halaman gedung dan ruang pengolahan;
12. Pada setiap pintu masuk ruang pengolahan dan tempat-tempat
tertentu harus disediakan perlengkapan pencuci-hama;
13. Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita
penyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit menular;
14. Kesehatan para karyawan harus diperiksa secara periodik untuk
menghindarkan penularan penyakit baik terhadap produk maupun
karyawan lainnya;
15. Setiap karyawan harus dilengkapi dengan pakaian dan perlengkapan
kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.
C. Penanganan Hasil Perikanan
Penanganan Hasil Perikanan harus memenuhi:
1. Persyaratan Produk Segar
a. Produk segar yang masih menunggu untuk ditangani, dikemas
dan dikirim, harus diberi es dan disimpan di ruang dingin.
Penambahan es harus dilakukan sesering mungkin ; es yang
digunakan dengan atau tanpa garam harus terbuat dari air
minum atau air laut bersih dan ditampung dalam wadah yang
khusus dengan kondisi yang higienis; wadah penampungan
harus terjaga kebersihannya;
b. Pemfiletan dan pemotongan harus dilakukan sedemikian rupa
untuk mencegah kontaminasi atau pembusukan dan dilakukan
pada tempat yang terpisah dari tempat pemotongan kepala dan
pembuangan isi perut; filet dan potongan ikan tidak boleh
dibiarkan terlalu lama di meja kerja dan harus dikemas untuk
menghindari kontaminasi. Filet dan potongan ikan yang akan
dijual dalam keadaan segar harus segera didinginkan;
c. Isi perut dan bagian-bagian yang dapat membahayakan
kesehatan manusia harus dipisahkan dari produk yang akan
dikonsumsi manusia;
d. Wadah yang digunakan untuk mengangkut atau menyimpan
produk segar harus dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu melindungi atau mencegah terjadinya kontaminasi.
Kondisi wadah harus hygienis dan dilengkapi dengan lubang
pembuangan air lelehan;
e. Wadah untuk penampungan limbah harus tidak bocor dan
tertutup serta mudah dibersihkan dan disanitasi. Limbah tidak
boleh dibiarkan menumpuk di ruang pengolahan dan segera
diangkat setelah penuh atau setidaknya setiap selesai bekerja;
f. Tempat penampungan sampah harus selalu dibersihkan dan
disanitasi sebagaimana mestinya, sehingga tidak menjadi
sumber kontaminasi terhadap UPI atau lingkungan.
2. Persyaratan Produk Beku
a. UPI harus mempunyai:
1) Sarana pembekuan yang mampu menurunkan suhu secara
cepat sesuai persyaratan;
2) Sarana pembekuan (penyimpanan beku) yang mampu
menjaga suhu sehingga tidak terjadi peningkatan suhu
melebihi persyaratan.
b. Apabila karena alasan teknis dipersyaratkan suhu yang lebih
tinggi, misalnya dengan menggunakan pembekuan air garam
untuk tujuan pengalengan diperbolehkan sepanjang tidak lebih
tinggi dari -9°C;
c. Produk segar yang dibekukan dengan cepat harus memenuhi
persyaratan khusus struktur dan peralatan kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan;
d. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan alat pencatat
suhu yang mudah dibaca, sensor suhu harus diletakkan jauh
dari sumber/mesin pendingin atau di tempat yang suhunya
paling tinggi di dalam tempat penyimpanan tersebut. Data
pencatatan suhu harus tersedia untuk pemeriksaan oleh Instansi
berwenang sekurang-kurangya selama masa penyimpanan
produk tersebut.
3. Produk yang Dilelehkan
a. UPI yang melakukan pelelehan harus memiliki peralatan sebagai
berikut:
1) Pelelehan produk harus dilakukan secara higienis, terhindar
dari kontaminasi dan pembuangan air lelehan yang
memadai. Selama pelelehan suhu produk tidak boleh naik
secara berlebihan.
2) Setelah dilelehkan produk harus ditangani sesuai
persyaratan dan pengolahannya tidak boleh ditunda.
4. Persyaratan Produk Olahan
a. Produk segar, beku, dan yang telah dilelehkan harus memenuhi
persyaratan hygiene.
b. Apabila perlakuan pengolahan dilakukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri/mikro-organisme pathogen atau
merupakan faktor penting untuk pengawetan produk tersebut,
harus ada pengakuan secara ilmiah dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c. Penanggung jawab pengolahan harus menyimpan catatan
mengenai pengolahan yang telah dilakukan. Catatan tersebut
meliputi : pekerja, waktu dan suhu pemanasan, kadar garam,
pH, kadar air dll, harus dimonitor dan dicatat serta disimpan
selama/sesuai masa/daya simpan produk tersebut (dan tersedia
untuk Instansi berwenang).
d. Produk yang diawetkan untuk periode tertentu/terbatas, dengan
perlakuan seperti penggaraman, pengasapan, pengeringan
pengacaran harus dijelaskan persyaratan penyimpanannya pada
kemasan.
5. Pengalengan:
a. Dalam hal produk akan diproses untuk sterilisasi dalam wadah
tahan panas, maka:
1) Air yang digunakan untuk pencucian kaleng harus
memenuhi persyaratan air minum;
2) Proses pengolahan atau pemanasan harus sesuai; misalnya
yang berkaitan dengan kriteria utama seperti waktu
pemanasan, suhu, pengisian, ukuran kaleng dan lain-lain;
catatan harus disimpan. Suhu pemanasan harus mampu
membunuh bakteri pathogen dan memusnahkan sporanya.
Peralatan pemanasan harus dilengkapi dengan alat kontrol
untuk memastikan peralatan tersebut berfungsi
sebagaimana mestinya. Pendinginan kaleng setelah
pemanasan/perebusan harus menggunakan air minum
tanpa adanya tambahan bahan kimia untuk mencegah
karatan pada peralatan atau kaleng;
3) Pengecekan selanjutnya harus dilakukan secara acak untuk
memastikan bahwa proses pemanasan/perebusan berjalan
sebagaimana mestinya;
4) Inkubasi: inkubasi harus dilakukan pada suhu 37°C selama
7 hari atau 35°C selama sepuluh hari atau dengan
kombinasi waktu dan suhu lainnya yang sesuai;
5) Pengujian secara mikrobiologi terhadap produk dan kaleng
dilakukan di laboratorium milik UPI atau laboratorium lain
yang diakui.
b. Sampel harus diambil setiap hari produksi dengan interval waktu
yang telah ditetapkan sesuai dengan perencanaan pengambilan
sampel, sehingga harus tersedia peralatan yang memadai untuk
pengujian kaleng;
c. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kaleng tidak rusak;
d. Pemanasan semua kaleng yang telah melalui perlakuan
pemanasan/sterilisasi sesuai persyaratan sesuai Standar
Nasional Indonesia (SNI);
6. Pengasapan
a. Pengasapan harus dilakukan pada tempat tertentu yang
dilengkapi peralatan khusus dengan sistem untuk mencegah
dampak atau pengaruh asap dan panas ke ruang pengolahan
lainnya;
b. Bahan yang digunakan untuk menghasilkan asap untuk
pengasapan ikan, harus disimpan terpisah dari tempat
pengasapan dan digunakan sedemikian rupa sehingga tidak
mengkontaminasi produk;
c. Bahan yang digunakan untuk menghasilkan asap melalui
pembakaran kayu yang telah dicat, dipernis, dilem, atau telah
diawetkan dengan bahan kimia tertentu tidak diperbolehkan;
d. Sesudah pengasapan dan sebelum dikemas, produk segera
didinginkan pada suhu yang dipersyaratkan.
7. Penggaraman
a. Kegiatan penggaraman harus dilakukan pada tempat
khusus/terpisah dari ruang proses lainnya;
b. Garam yang digunakan untuk penggaraman harus bersih dan
disimpan sedemikian rupa untuk menghindari kontaminasi;
garam yang telah digunakan tidak boleh digunakan kembali.
c. Wadah yang digunakan untuk penggaraman harus dirancang
sedemikian rupa untuk melindungi dan menghindari kontaminasi
selama penggaraman;
d. Wadah atau tempat yang digunakan untuk penggaraman harus
dibersihkan sebelum digunakan.
8. Produk Crustacea dan Kekerangan yang dimasak
a. Setiap pemasakan harus diikuti dengan pendinginan cepat, air
yang digunakan untuk pemasakan harus air minum atau air laut
bersih. Apabila tidak menggunakan metode pengawetan lain,
pendinginan harus dilakukan terus sampai suhunya mendekati
titik leleh es;
b. Pembuangan kulit atau pengambilan daging harus dilakukan
secara higienis untuk mencegah kontaminasi produk. Apabila
dilakukan dengan menggunakan tangan, pekerja harus mencuci
tangan dan semua peralatan harus dibersihkan dengan baik.
Apabila menggunakan mesin, harus dibersihkan secara teratur
dan disanitasi setiap selesai bekerja;
c. Setiap UPI, secara teratur harus melakukan uji mikrobiologi
terhadap hasil produksinya sesuai dengan standar berlaku.
9. Pemisahan daging ikan secara mekanis
a. Segera dilakukan setelah penyiangan dan pemfiletan daging.
Apabila menggunakan bahan baku ikan utuh, maka isi perut
harus dibuang dan dicuci sebelum dilakukan pemisahan daging;
b. Peralatan harus dibersihkan sesuai jadwal setidaknya setiap 2
jam;
c. setelah pemisahan daging ikan harus segera dibekukan.
10. Persyaratan Mengenai Parasit
a. Selama produksi dan sebelum produk diedarkan untuk konsumsi
manusia, ikan dan produk perikanan harus diperiksa secara
visual untuk mendeteksi dan membuang parasit yang terlihat.
Ikan atau bagian ikan yang terkena parasit, tidak boleh
dipasarkan untuk konsumsi manusia;
b. Ikan dan produk perikanan yang akan dikonsumsi mentah harus
dibekukan pada suhu tidak lebih dari -20°C selama tidak kurang
dari 24 jam;
c. Produk perikanan yang diproses dengan pengasapan harus
dilakukan pengasapan dingin pada suhu kurang dari 60°C;
d. Perlakuan atau pengolahan dengan pengacaran dan/atau
penggaraman terhadap produk perikanan tidak cukup mampu
memusnahkan Larva nematode tidak boleh dipasarkan.
D. Pengepakan dan Pelabelan
1. Pengepakan harus dilakukan pada kondisi yang higienis untuk
menghindari kontaminasi pada hasil perikanan;
2. Bahan pengepak dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil
perikanan harus memenuhi persyaratan higiene, dan khususnya:
a. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil
perikanan;
b. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia;
c. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan.
3. Dengan pengecualian terhadap wadah tertentu yang terbuat dari
bahan yang kedap air, halus, dan tahan karat yang mudah
dibersihkan dan disanitasi, yang mungkin digunakan kembali setelah
pencucian dan sanitasi, bahan pengepakan tidak boleh digunakan
kembali. Bahan pengepakan yang digunakan untuk produk segar
yang di-es harus dilengkapi dengan saluran pembuangan untuk
lelehan air;
4. Bahan pengepak yang tidak digunakan harus disimpan dalam
bangunan yang jauh dari tempat produksi dan terlindung dari debu
dan kontaminasi;
5. Untuk tujuan pengawasan kemamputelusuran produk dapat
digunakan label (untuk produk yang dikemas) atau dokumen yang
menyertai (untuk produk yang tidak dikemas). Informasi tersebut
harus mencakup:
a. Negara asal yang dapat ditulis secara penuh atau disingkat
dengan menggunakan huruf besar;
b. Identifikasi nomor pengesahan UPI, dan kapal penangkap dan
atau pengangkut ikan yang melakukan pembekuan.
E. HACCP
1. Setiap unit pengolahan wajib menerapkan sistem jaminan keamanan
hasil perikanan berdasarkan konsepsi yang diverifikasi oleh
inspektur dari Otoritas Kompeten.
2. Prinsip HACCP pada angka 1 terdiri atas:
a. Identifikasi bahaya yang harus dicegah, dieliminasi atau
dikurangi hingga batas diterima;
b. Identifikasi Titik-titik kritis pengendalian (CCP) pada setiap
tahap;
c. Menetapkan batas kritis pada setiap CCP yang memisahkan
antara diterima dengan tidak diterima untuk pencegahan,
eliminasi atau reduksi bahaya yang telah diidentifikasi;
d. Menetapkan dan menerapkan prosedur monitoring yang efektif
pada setiap CCP;
e. Manetapkan tindakan koreksi ketika monitoring mengindikasikan
CCP tidak terkendali;
f. Mengembangkan prosedur verifikasi yang dilakukan secara
regular, untuk memverifikasi bahwa tindakan yang ditetapkan
pada butir a hingga e berjalan dengan efektif; dan
g. Mengembangkan dokumen dan rekaman untuk
mndemonstrasikan penerapan butir a-f dilakukan secara efektif.
3. Standar yang diacu untuk penarapan system HACCP adalah nasional
dan atau standar internasional yang berlaku disamping standar
negara-negara mitra bisnis;
4. Bila dilakukan modifikasi pada produk, proses, atau tahap, pelaku
usaha harus mengkaji ulang prosedur dan melakukan perubahan
yang dilaporkan kepada otoritas kompeten untuk dilakukan
verifikasi.
5. Unit pengolahan ikan yang telah menerapkan HACCP dan sudah
diverifikasi diberikan sertifikat HACCP. Tata cara penerbitan sertifikat
HACCP diatur lebih lanjut dalam peraturan Direktur Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran.
F. Pemberian Approval
1. Instansi berwenang memberikan approval kepada UPI yang
berdasarkan hasil verifikasi memenuhi ketentuan dalam Keputusan
ini.
2. Pemberian approval sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus
diperbaharui apabila suatu UPI melakukan kegiatan selain dari yang
telah diberi approval sebelumnya.
3. Otoritas kompeten mengambil tindakan apabila UPI tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
BAB VI
SARANA DISTRIBUSI HASIL PERIKANAN
1. Sarana distribusi hasil perikanan baik yang digunakan untuk hasil
tangkapan maupun budidaya harus dijaga dalam keadaan bersih dan
baik untuk menghindari kontaminasi dan kerusakan fisik, dan didesain
agar mudah dibersihkan dan/atau disanitasi.
2. Sarana berupa kendaraan pengangkut tidak digunakan untuk tujuan lain
selain hasil perikanan yang dapat mengkontaminasi hasil perikanan.
3. Bila pada saat yang sama sarana kendaraan yang digunakan juga untuk
mengangkut produk lain, harus dipisahkan dan dijamin kebersihannya
agar tidak mengkontaminasi hasil perikanan.
4. Sarana pengangkut harus dapat melindungi produk dari resiko
penurunan mutu dan keamanan hasil perikanan.
5. Pelaku usaha distribusi hasil perikanan harus:
a. Membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 4;
b. Pelaku usaha distribusi hasil perikanan harus mendokumentasikan
sistem manajemen keamanan pangannya yang mencakup GHdP
yang diterapkan.
c. Menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga tetap
terkini;
d. Memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode waktu
tertentu.
BAB VII
PELATIHAN
Pelaku Usaha Perikanan harus memastikan:
1. bahwa karyawan yang menangani hasil perikanan harus disupervisi dan
dan diarahkan dan/atau dilatih dalam masalah higiene pangan sesuai
dengan aktivitas ditempat kerjanya;
2. bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pemeliharaan
prosedur yang dipersyaratan dalam peraturan ini atau pedoman yang
relevan untuk diterapkan dalam program pelatihan sesuai prinsip-prinsip
HACCP; dan
3. sesuai dengan persyaratan regulasi nasional yang berkaitan dengan
program pelatihan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pangan.
BAB VIII
LAIN-LAIN
1. Produk Kekerangan yang dipasarkan dalam keadaan hidup harus
memenuhi persyaratan sesuai dengan program monitoring sanitasi
kekerangan.
2. Survey daerah pertumbuhan kekerangan dikategorikan ke dalam 4
(empat) jenis yaitu survey sanitasi menyeluruh, peninjauan kembali,
pemantauan dan evaluasi ulang.
3. Klasifikasi dan penutupan daerah pertumbuhan:
a. Daerah pertumbuhan kekerangan dalam sistem sanitasi kekerangan
diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kelas meliputi daerah yang
diijinkan (kelas A), daerah yang diijinkan dengan kondisi tertentu
(kelas B), daerah yang terbatas (kelas C).
b. Masing-masing kelas berhubungan dengan mutu mikrobiologi
perairan dan tingkat serta potensi terjadinya pencemaran baik
alamiah maupun yang berasal dari aktifitas disekitarnya.
c. Penutupan daerah pertumbuhan dapat dilakukan apabila mutu
sanitasi perairan didaerah yang diijinkan berubah secara signifikan
dengan perubahan sumber-sumber polusi sehingga tidak memenuhi
persyaratan sanitasi.
4. Penanganan Saat Panen
a. kekerangan yang baru ditangkap harus segera dicuci untuk
menghilangkan lumpur dan kotoran lainnya. Apabila hal ini tidak
bisa dilakukan, maka pencucican harus segera dilakukan begitu tiba
di unit pengolahan.
b. air yang digunakan untuk mencuci kekerangan harus berasal dari
daerah pertumbuhan kekerangan yang diijinkan atau dari sumber
lain yang disetujui oleh pengawas mutu.
c. bila pencucian dilakukan di tempat pendaratan setelah ditangkap,
maka tempat tersebut harus memenuhi persyaratan sanitasi dan
hygiene yang telah ditetapkan.
5. Persyaratan Untuk Pusat Purifikasi (purification center)
a. Sebelum purifikasi dimulai, kekerangan hidup harus dicuci dan
dibersihkan dari lumpur dan tumpukan kotoran dengan air bersih.
b. Operasi system purifikasi harus mempertahankan kekerangan hidup
mampu memulai lagi dan mempertahankan aktivitas penyaringan
(filter feeding) dengan cepat, untuk menghilangkan kontaminasi
kotoran, tidak menjadi re-kontaminasi dan dapat tetap hidup
dalam kondisi yang baik setelah purifikasi untuk pembungkusan,
penyimpanan dan pengangkutan sebelum dijual di pasar.
c. Jumlah kekerangan hidup yang akan dipurifikasi tidak melebihi
kapasitas pusat purifikasi. Kekerangan hidup harus dipurifikasi
secara terus menerus untuk periode waktu yang cukup untuk
mencapai pemenuhan standard kesehatan yang diperbolehkan.
d. Apabila tanki purifikasi berisi beberapa batches kekerangan hidup,
mereka harus dari spesies yang sama dan lamanya perlakuan
(treatment) harus berdasarkan waktu yang dibutuhkan menurut
batch yang membutuhkan periode pencucian terlama.
e. Kontainer yang digunakan untuk menangani kekerangan hidup
dalam sistem purifikasi harus memiliki konstruksi yang dapat
mengalirkan air bersih mengalir masuk. Ketebalan lapisan
kekerangan hidup harus tidak memperlambat pembukaan cangkang
(shells) selama purifikasi.
f. Tidak terdapat krustacea, ikan atau hewan laut yang berada di
tangki purifikasi dimana kekerangan hidup sedang dilakukan
purifikasi.
g. Setiap paket mengandung kekerangan hidup yang telah dipurifikasi
dikirim ke pusat pengiriman (dispatch centre) harus dilengkapi
dengan label yang disertifikasi bahwa semua kekerangan hidup
tersebut telah dipurifikasi.
6. Persyaratan Pusat Pengiriman (Dispatch Center)
a. Penanganan kekerangan hidup, khususnya pengkondisian, kalibrasi,
pembungkusan dan pengemasan, harus tidak mengkontaminasi
produk atau mempengaruhi kelayakan kekerangan hidup.
b. Sebelum dikirim, cangkang kekerangan hidup harus dicuci dengan
air bersih dengan rata
c. Kekerangan hidup harus berasal dari:
1) Daerah Produksi Kelas A;
2) Daerah relaying;
3) Pusat Purifikasi; atau
4) Pusat pengiriman lainnya.
d. Persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam butir 1 dan 2 juga
diterapkan pusat pengiriman yang berada di kapal penangkap ikan.
Kekerangan Hidup yang ditangani di beberapa pusat pengiriman
harus berasal dari daerah produksi Kelas A atau daerah relaying.
7. Penyimpanan Dingin
a. Setelah proses depurasi, kekerangan hidup disimpan pada suhu
yang tidak dapat mempengaruhi mutu dan mengancam
kelangsungan hidupnya.
b. Pengemasan tidak boleh kontak langsung dengan lantai ruang
penyimpanan, tetapi harus ditempatkan pada permukaan yang lebih
tinggi dan bersih, Kebersihan ruang penyimpanan harus dipelihara
untuk mencegah kontaminasi silang dan hanya orang tertentu yang
diperbolehkan masuk ke ruang penyimpanan.
c. Perendaman kembali atau penyemprotan dengan air terhadap
kerang hidup tidak boleh dilakukan setelah dikemas atau bila telah
meninggalkan tempat pengumpulan kecuali bila dijual eceran di
tempat pengumpulan.
8. Standard Kesehatan Kekerangan Hidup
a. Sebagai tambahan untuk memastikan pemenuhan sesaui dengan
kriteria mikrobiologi yang diadopsi sesuai dengan Regulation (EC)
No 852/2004, pelaku usaha harus memastikan bahwa kekerangan
hidup ditempatkan di pasar untuk konsumsi manusia memenuhi
standard sebagaimana tertuang dalam Peraturan ini.
b. Kekerangan hidup tersebut harus memiliki karakteristik organoleptik
dengan kesegaran dan kelayakan, termasuk cangkang yang bebas
dari kotoran, adanya respon yang cukup untuk menekan (to
percussion) dan jumlah normal cairan intravalvular.
c. Kekerangan hidup tersebut harus tidak mengandung biotoxins laut
dalam jumlah total (diukur di dalam keseluruhan badan atau setiap
bagian yang dapat dimakan terpisah) yang dapat melebihi batas
berikut ini:
1) untuk paralytic shellfish poison (PSP), 800 mikrogram per
kilogram;
2) untuk amnesic shellfish poison (ASP), 20 milligram asam
domoic per kilogram;
3) untuk asam okadaic, dinophysistoxins dan pectenotoxins
bersama-sama, 160 mikrogram asam okadaic ekivalen per
kilogram;
4) untuk yessotoxins, 1 milligram of yessotoxin ekivalen per
kilogram; dan
5) untuk azaspiracids, 160 microgram azaspiracid ekivalen per
kilogram.
9. Pembungkusan dan Pengemasan Kekerangan Hidup
a. Ukuran kemasan individual konsumen kekerangan hidup harus
tertutup dan tetap tertutup setelah meninggalkan pusat pengiriman
(dispatch center) dan sampai disajikan untuk dijual ke konsumen
akhir;
b. Wadah untuk pengemasan (boks, karung) harus bersih dan dibuat
dari bahan-bahan yang diijinkan;
c. Kekerangan hidup harus dikemas pada kondisi yang higienis, sedang
bahan kemasan atau wadah harus:
1) Tidak mempengaruhi karakteristik organoleptik dari kerang
hidup,
2) Tidak menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia terhadap kekerangan hidup, dan
3) Harus cukup kuat untuk memberikan perlindungan kepada
kekerangan hidup
d. Oyster harus dikemas dalam kondisi cangkang yang menghadap ke
bawah;
e. Seluruh kemasan kekerangan harus dalam keadaan tertutup dan
dipertahankan dari tempat pengumpulan sampai pengiriman ke
konsumen atau pedagang eceran.
10. Tanda, Identifikasi dan Pelabelan Kekerangan Hidup
a. Setiap partai produk harus diberi label yang menunjukan asal
bahan, tanggal penangkapan, nama produk (spesies) dan suhu
penyimpanan.
b. Label, termasuk tanda identifikasi, harus terbuat dari bahan kedap
air (waterproof).
c. Sebagai tambahan terhadap persyaratan umum untuk tanda
identifikasi, informasi berikut harus tertera pada label yaitu:
1) jenis kekerangan hidup (nama umum dan nama latin); dan
2) tanggal pengemasan, terdiri dari paling tidak hari dan bulan.
d. Para pengecer harus menjaga yang tertera dalam kemasan
kekerangan hidup yang tidak dikemas secara individual ukuran
konsumsi untuk paling tidak 60 hari setelah dipisahkan dari isi.
11. Persyaratan Lainnya
a. Para pelaku usaha yang menyimpan dan mengangkut kekerangan
hidup harus memastikan bahwa kekerangan tersebut dijaga pada
suhu yang dapat mempengaruhi keamanan pangan dalam
kelayakannya.
b. Kekerangan hidup tidak boleh dicelupkan kembali, atau disemprot
dengan air setelah kekerangan hidup tersebut telah dikemas untuk
dijual eceran dan meninggalkan pusat pengiriman (dispatch centre)
12. Persyaratan Khusus Untuk PECTINIDAE yang Dipanen di luar Klassifikasi
Daerah Produksi
a. Pectinidae tidak dijual di pasar jika produk tersebut tidak dipanen
dan ditangani sesuai dengan persyaratan hasil perikanan lainnya.
b. Pectinidae mungkin tidak dapat ditempatkan di pasar untuk
konsumsi manusia jika tidak melalui pelelangan, suatu pusat
pengiriman (a dispatch centre), atau Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Ketika bisnis tersebut menangani pectinidae, para pelaku bisnis yang
mengoperasikan UPI harus memberitahukan ke otoritas kompeten
dan sebagaimana pusat pengiriman (dispatch centres).
c. Para pelaku bisnis yang menangani pectinidae harus memenuhi
persyaratan dan sesuai:
1) dengan persyaratan hygiene hasil perikanan dan
penerapannya. Dalam hal ini, pendaftaran dokumen harus
jelas mengidikasikan lokasi daerah dimana pectinidae dipanen;
atau
2) berkaitan dengan kemasan pectinidae, dan pembungkusan
pectinidae jika pembungkusan menyediakan perlindungan
yang sama/ekivalen fungsinya dengan kemasan sesuai
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Peraturan ini
tentang tanda identitikasi dan labelling.
13. Ketertelusuran
a. Ketertelusuran hasil perikanan pada seluruh tahap produksi,
pengolahan dan distribusi harus dikembangkan.
b. Pelaku usaha hasil perikanan harus mampu mengidentifikasi personil
dan pelaku usaha yang mengirim pasokan ikan untuk tujuan
pengolahan, serta membangun system dan prosedur yang
memungkinkan otoritas kompeten dapat mendapatkan informasi bila
diperlukan.
c. Pelaku usaha pengolahan harus memberikan label atau informasi
yang mengidentifikasi ketertelusurannya sesuai dengan persyaratan
jenis produk tertentu.
BAB IX
SANKSI
Terhadap persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada
proses produksi, pengolahan dan distribusi, apabila ada penyimpangan
dalam pelaksanaannya maka dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
PENUTUP
Ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan sesuai dengan tanggung jawab dan
kewenangannya.
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
ttd
FREDDY NUMBERI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
NARMOKO PRASMADJI
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP. 01/MEN/2007
TENTANG
PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN
DAN DISTRIBUSI
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan nasional dan
internasional dipandang perlu mengatur
persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan pada proses produksi, pengolahan dan
distribusi;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002
tentang Usaha Perikanan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan;
6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 20/P tahun 2005;
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94
Tahun 2006;
8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang
Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2006;
9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.13/MEN/2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI,
PENGOLAHAN, DAN DISTRIBUSI.
PERTAMA : Menetapkan persyaratan jaminan mutu dan keamanan
hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan
distribusi sebagaimana tersebut dalam Lampiran yang
tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
KEDUA : Persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan
distribusi sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA
dipergunakan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan sesuai standar nasional
dan internasional.
KETIGA : Agar dalam pelaksanaan Keputusan ini dapat berjalan
secara efisien dan efektif, menugaskan kepada Otoritas
Kompeten untuk melakukan komunikasi dan sosialisasi
kepada seluruh pemangku kepentingan atas hal-hal
yang berkaitan dengan ketentuan baru dalam
Keputusan ini.
KEEMPAT Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,
dengan ketentuan terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya,
pemangku kepentingan wajib menyesuaikan dengan
Keputusan ini selambat-lambatnya sampai dengan
tanggal 31 Juli 2007.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Januari 2007
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
ttd
FREDDY NUMBERI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
NARMOKO PRASMADJI
LAMPIRAN : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Nomor KEP. 01/MEN/2007
Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi,
Pengolahan, dan Distribusi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis
dalam pembangunan perekonomian nasional terutama dalam
meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan,
dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil,
pembudidaya ikan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang
perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan
ketersediaan sunber daya ikan.
Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan Indonesia
harus dapat mengikuti persyaratan yang dapat menjamin mutu dan
keamanan yang diinginkan oleh konsumen sehingga dapat bersaing di
pasar Internasional yang akhirnya akan menjaga kestabilan dan
meningkatkan produksi dan sekaligus pemasaran hasil perikanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu
dan Gizi Pangan telah ditetapkan agar produk pangan dalam hal ini
hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus
mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat
menjamin kesehatan manusia.
Dengan adanya undang-undang dan peraturan Pemerintah diatas
perlu adanya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang
menetapkan tentang persyaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di
Produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan pengangkut
ikan, tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, unit pengolah
ikan, sarana distribusi hasil perikanan dan lain-lain yang terkait dengan
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud ditetapkannya Keputusan ini untuk mengatur persyaratan
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi,
pengolahan dan distribusi.
2. Tujuan ditetapkannya Keputusan ini untuk mendapatkan hasil
perikanan dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Keputusan ini meliputi:
1. Kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan;
2. Tempat pendaratan ikan;
3. Tempat pelelangan ikan;
4. Unit pengolahan ikan;
5. Sarana distribusi hasil perikanan;
6. Pelatihan;
7. Lain-lain;
8. Sanksi, dan
9. Penutup.
D. Pengertian
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Produksi adalah rangkaian kegiatan penangkapan di laut dan
perairan umum termasuk kekerangan hidup.
2. Pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan atau perlakuan dari
bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk menjadi
konsumsi manusia.
3. Distribusi adalah rangkaian kegiatan penyaluran hasil perikanan
dari suatu tempat ke tempat lain sejak produksi, pengolahan sampai
pemasaran.
4. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang secara khusus
dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung,
menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan.
5. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang secara khusus
dipergunakan untuk mengangkut ikan, termasuk memuat,
menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan.
6. Unit Pengolahan Ikan adalah tempat usaha yang digunakan
untuk menangani dan mengolah ikan.
7. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
8. Hasil Perikanan adalah ikan yang ditangani dan/atau diolah untuk
konsumsi manusia.
9. Produk Perikanan adalah setiap bentuk produk pangan berupa
ikan utuh atau produk yang mengandung bagian ikan, termasuk
produk yang sudah diolah dengan cara apapun yang berbahan baku
utama ikan.
10. Keamanan Hasil dan Produk Perikanan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah hasil dan produk perikanan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan tidak
akan membahayakan konsumen.
11. Higiene Hasil Perikanan adalah upaya dan persyaratan yang
diperlukan untuk mengendalikan bahaya dan memastikan aman bagi
konsumsi manusia bila dikonsumsi sesuai tujuan penggunaan.
12. Laboratorium adalah suatu ruangan atau tempat yang digunakan
untuk melakukan kegiatan monitoring dan atau pengujian terhadap
mutu produk bahan baku, semi produk dan produk akhir serta
substansi bahaya selama proses produksi.
13. Sistem Jaminan Keamanan Hasil Perikanan adalah upayaupaya
yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi
sampai dengan pendistribusian untuk memperoleh hasil perikanan
yang memenuhi persyaratan keamanan hasil perikanan konsumsi
14. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah sistem
manajemen keamanan pangan yang mendasarkan kesadaran bahwa
dapat timbul pada tahap-tahap proses, namun dapat dikendalikan
melalui tindakan pencegahan dan pengendalian titik-titik kritis.
15. GHdP (Good Handling Practices) adalah pedoman dan tata cara
penanganan ikan hasil tangkapan, termasuk pembongkaran dari
kapal yang baik untuk memenuhi persyaratan jaminan mutu dan
keamanan hasil penangkapan termasuk kekerangan hidup.
16. GDP (Good Distribution Practices) adalah pedoman dan tata
cara pendistribusian ikan yang baik;
17. SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure) adalah
pedoman persyaratan sanitasi unit pengolahan ikan.
18. Program Persyaratan Dasar (Pre Requisite Programs) adalah
persyaratan dasar penerapan higiene pada semua unit dan atau
sarana yang terkait pada penanganan dan pengolahan hasil
perikanan.
19. GMP (Good Manufacturing Practices) adalah pedoman
persyaratan dan tata cara berproduksi yang baik bagi suatu unit
pengolahan ikan.
20. GLP (Good Laboratory Practices) adalah pedoman persyaratan
dan tata cara berlaboratorium yang baik.
21. Nomor Registrasi adalah nomor yang diberikan kepada unit
pengolahan yang telah memenuhi persyaratan sanitasi dan teknik
pengolahan untuk memberikan jaminan mutu kepada konsumen.
22. Pendinginan adalah proses penurunan suhu hasil perikanan
sampai mendekati suhu titik leleh es.
23. Produk Segar adalah setiap produk perikanan baik utuh atau
produk yang mengalami perlakuan pembuangan isi perut, insang,
pemotongan kepala, dan pemfilletan (produk preparasi), termasuk
produk yang dikemas secara vacuum atau modifikasi atmosfir yang
belum mengalami perlakuan pengawetan selain pendinginan.
24. Produk Olahan adalah setiap hasil perikanan yang telah
mengalami proses kimia atau fisika seperti pemanasan, pengasapan,
penggaraman, pengeringan atau pengacaran dan lain-lain, baik
yang berasal dari produk yang didinginkan atau produk beku, baik
yang dikombinasikan dengan bahan makanan lain atau kombinasi
dari beberapa proses.
25. Produk Beku adalah setiap hasil perikanan yang telah mengalami
proses pembekuan untuk mencapai suhu pusat ikan -18°C atau
lebih rendah.
26. Pengepakan adalah suatu kegiatan untuk membungkus atau
menempatkan hasil perikanan ke dalam suatu wadah dengan
menggunakan bahan pengepak yang memenuhi persyaratan.
27. Partai Produk adalah sejumlah hasil perikanan yang dihasilkan
pada kondisi yang sama.
28. Air Laut Bersih adalah air laut yang bebas dari kontaminasi
mikrobiologi, bahan-bahan yang berbahaya dan/atau plankton laut
beracun dalam jumlah tertentu yang dapat mempengaruhi
keamanan dan mutu hasil perikanan.
29. Kekerangan adalah moluska jenis filter feeding lamellibranch.
30. Pusat Pengiriman Kekerangan (Dispatch Center) adalah
tempat di laut atau di darat untuk penerimaan, pengkondisian,
pembersihan, pencucian, grading, pengemasan dan pengepakan
kekerangan hidup untuk tujuan keamanan produk layak konsumsi
manusia (fit for human consumption).
31. Toksin hayati adalah senyawa beracun yang terakumulasi dalam
kekerangan yang memakan plankton yang mengandung racun.
32. Daerah Pertumbuhan adalah perairan tempat kehidupan
kekerangan secara alami atau perairan atau muara sungai yang
menghasilkan kekerangan atau suatu tempat yang digunakan untuk
membudidayakan kekerangan.
33. Pemberokan adalah kegiatan pemindahan tempat hidup bagi
kekerangan yang dipanen/ditangkap dari perairan klasifikasi
terbatas (C) untuk kurun waktu tertentu sehingga kekerangan
terbebas dari cemaran dan aman untuk dikonsumsi.
34. Purifikasi adalah suatu proses pembersihan dengan menggunakan
sirkulasi ulang untuk meminimalkan cemaran mikroba,kotoran,
logam berat dan lain-lain.
35. Perairan Tercemar adalah masuknya mahkluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam perairan oleh kegiatan manusia
baik sengaja atau tidak, sehingga kualitasnya turun ke tingkat
tertentu yang menyebabkan perairan tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.
36. Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk
melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem
mutu oleh pelaku usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka
memberi jaminan mutu mutu dan keamanan hasil perikanan.
37. Audit adalah Pemeriksaan secara sistematis dan independen untuk
mengetahui apakah aktifitas dan hasil-hasilnya sesuai dengan
manual dan apakah manual dilaksanakan secara efektif sehingga
hasilnya mencapai tujuan.
38. Inspeksi adalah pemeriksaan terhadap suatu unit
produksi/pengolahan dan manajemennya termasuk sistem produksi,
dokumen, pengujian produk, asal dan tujuan produk, input dan
output dalam rangka melakukan verifikasi.
39. Inspektur adalah perseorangan yang mempunyai kompetensi
melakukan pengendalian keamanan pangan sesuai dengan
persyaratan inspektur dan yang ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan yang bertugas melakukan inspeksi dalam rangka
pengendalian keamanan pangan hasil perikanan.
40. Verifikasi adalah aplikasi metode, prosedur, testing dan evaluasi
lainnya utk memverifikasi bahwa Rencana HACCP yang dibuat
adalah sesuai dengan alur produksi, dan menilai apakah operasi
proses produksi sesuai dengan Rencana HACCP.
41. Ketertelusuran (Traceability) adalah kemampuan untuk
menelusuri riwayat, aplikasi atau lokasi dari suatu produk atau
kegiatan untuk mendapatkan kembali data dan informasi melalui
suatu identifikasi dokumen yang terkait.
42. Otoritas Kompeten (Competent Authority) adalah adalah pihak
Pemerintah yang mempunyai otoritas (kewenangan) untuk
melakukan pengendalian mutu mencakup verifikasi dan hal-hal
yang berkaitan dengan kewenangannya.
43. Komisi Approval (Approval Commission) adalah sekelompok
orang yang mempunyai keahlian di bidang Pengendalian mutu dan
keamanan Hasil Perikanan yang diberi kewenangan untuk
memberikan persetujuan (approved) dalam hal sertifikasi.
44. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
perikanan.
45. Dinas adalah unit kerja di tingkat Provinsi yang bertanggung jawab
di bidang perikanan dan kelautan.
BAB II
KAPAL PENANGKAP IKAN DAN KAPAL PENGANGKUT IKAN
A. Persyaratan Umum Kapal Penangkap Ikan dan Kapal
Pengangkut Ikan
Persyaratan Umum Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal penangkap dan pengangkut ikan yang digunakan untuk
melakukan penangkapan dan penanganan di atas kapal harus
memenuhi persyaratan ketentuan sanitasi dan hygiene kapal
perikanan.
2. Kapal ikan harus didesain dan dikonstruksi sehingga tidak
menyebabkan kontaminasi produk dari air kotor, limbah, asap,
minyak, oli, gemuk atau bahan-bahan lain.
3. Permukaan kontak langsung dengan produk harus dibuat dari bahan
yang tidak korosif yang halus dan mudah dibersihkan. Permukaan
yang menggunakan pelapis harus tahan/kuat dan tahan lama serta
tidak toksin.
4. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk menangani ikan harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah karat yang mudah dibersihkan
dan disanitasi.
5. Bila kapal penangkap dan/atau pengangkut ikan mempunyai
penampung air untuk penanganan ikan, maka harus ditempatkan
pada lokasi yang terhindar dari kontaminasi.
B. Persyaratan Khusus Struktur dan Peralatan Kapal Penangkap
dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Khusus Struktur dan Peralatan Kapal Penangkap dan
Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal ikan yang didesain dan dilengkapi peralatan untuk
mempertahankan kesegaran ikan selama penangkapan hingga 24
jam.
a. Kapal yang didesain dan dilengkapi peralatan untuk menjaga
kesegaran ikan hingga 24 jam harus dilengkapi peralatan palka,
tanki atau wadah untuk menyimpan ikan dan menjaga suhu
pendinginannya pada titik leleh es.
b. Palka harus terpisah dari ruang mesin dan ruang anak buah
kapal untuk menjaga kontaminasi. palka, tangki atau wadah
yang digunakan harus menjamin bahwa kondisi penyimpanan
dalam menjaga kesegaran ikan memenuhi persyaratan higienis.
c. Kapal yang dilengkapi dengan pendingin dengan air laut bersih
dingin, tangki harus dilengkapi dengan peralatan yang
menjamin kondisi suhu yang merata pada seluruh bagian tangki
dengan suhu < 3oC setelah 6 jam setelah ikan ditangkap dan <
6oC. Kondisi suhu dimonitor dan dicatat.
2. Persyaratan kapal dilengkapi dengan pembeku (freezer), kapal
penangkap dan pengangkut ikan dengan freezer harus:
a. Memiliki peralatan pembekuan yang cukup kapasitas untuk
menurunkan suhu secara cepat sehingga mencapai suhu pusat
ikan sama atau kurang dari -18 °C;
b. Mempunyai peralatan pembekuan yang cukup untuk menjaga
produk dalam palka tidak lebih besar dari -18oC. Ruang
penyimpanan harus dilengkapi dengan alat pencatat suhu yang
ditempatkan pada tempat yang mudah dibaca. Sensor suhu
harus ditempatkan pada tempat suhu tertinggi di dalam palka.
C. Registrasi Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan
Registrasi Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Kapal penangkap dan pengangkut ikan yang telah menerapkan
persyaratan diberikan nomor registrasi.
2. Kapal penangkap dan pengangkut ikan wajib menerapkan
persyaratan higiene kapal ikan.
3. Kapal penangkap dan pengangkut ikan wajib menempatkan
penanggung jawab mutu di atas kapal dan memiliki sertifikat
pengolah ikan (SPI).
4. Persyaratan dan tata cara penempatan penanggung jawab mutu di
atas kapal dan pemberian nomor registrasi ditetapkan lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
5. Persyaratan dan tata cara pemberian SPI sebagaimana angka 3
ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan.
D. Persyaratan Higiene Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Higiene Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Setiap kapal penangkap dan pengangkut ikan harus memenuhi
persyaratan higiene dan penerapan sistem rantai dingin.
2. Ketika digunakan, bagian-bagian dari kapal atau wadah untuk
penyimpan hasil tangkap harus dijaga kebersihannya dan dijaga
selalu dalam kondisi baik, terutama tidak terkontaminasi bahan
bakar dan air kotor.
3. Segera setelah diangkat ke geladak, produk perikanan harus dijaga
dari kontaminasi dan dari akibat panas matahari atau sumber panas
lainnya. Ketika ikan dicuci, air yang digunakan adalah air minum
atau dengan air laut bersih.
4. Produk hasil tangkap harus ditangani dan disimpan sehingga
terhindar dari memar. Penanganan menggunakan ganco untuk
menangani ikan besar harus dijaga agar tidak melukai daging ikan.
5. Produk perikanan yang tidak disimpan dalam keadaan hidup harus
segera didinginkan setelah naik ke kapal penangkap dan/atau
pengangkut ikan.
6. Es yang digunakan untuk pendinginan ikan harus terbuat dari air
minum atau air laut bersih.
7. Bila ikan dipotong kepala dan/atau dihilangkan isi perut, maka
kegiatan tersebut harus dilakukan secara higienis setelah
penangkapan, dan produk harus dicuci segera dan menyeluruh
dengan air minum atau air laut bersih. Isi perut dan bagian lain
yang dapat mengakibatkan bahaya kesehatan harus segera
disingkirkan. Hati dan telur yang dapat dikonsumsi harus disimpan
dengan es pada suhu dingin (chilling), atau dibekukan.
8. Jika menggunakan pembekuan dengan air garam (brine) untuk ikan
utuh sebagai bahan baku pengalengan, suhu tidak boleh lebih besar
dari -9oC pada pusat ikan. Air garam harus tidak menjadi sumber
kontaminasi ikan.
E. Persyaratan Hygiene Terhadap Penanganan di Kapal
Penangkap dan Pengangkut Ikan
Persyaratan Hygiene Terhadap Penanganan di Kapal Penangkap dan
Pengangkut Ikan terdiri dari:
1. Penanggung jawab penanganan ikan di kapal penangkap dan
pengangkut ikan harus bertanggung jawab dalam menerapkan cara
pananganan ikan yang baik;
2. Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus
mempunyai kewenangan untuk menjamin bahwa persyaratanpersyaratan
yang tercantum dalam ketentuan ini diterapkan;
3. Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada angka 1 juga
menyediakan program pengendalian bagi Inspektur hasil perikanan
untuk tujuan pemeriksaan mutu di atas kapal penangkap dan/atau
pengangkut ikan serta menyediakan lembaran catatan yang meliputi
lembaran komentar inspektur dan pencatatan suhu;
4. Kondisi umum hygiene tempat dan peralatan harus mempunyai
kondisi yang hygienis;
5. Karyawan yang menangani langsung hasil perikanan di atas kapal
harus menggunakan pakaian kerja yang bersih dan tutup kepala
sehingga menutupi rambut secara sempurna;
6. Karyawan yang menangani hasil perikanan harus mencuci tangan
sebelum memulai pekerjaan;
7. Karyawan yang sedang mengalami luka tangan tidak boleh
menangani produk;
8. Tidak diperbolehkan merokok, meludah, makan dan minum diruang
kerja dan di tempat penyimpanan produk;
9. Pembuangan kepala dan isi perut harus dilakukan secara higienis
dan segera dicuci dengan air minum dan atau air laut bersih;
10. Hasil perikanan yang dibungkus dan dikemas harus dilakukan pada
kondisi yang higienis untuk menghindari kontaminasi;
11. Bahan kemasan dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil
perikanan harus memenuhi persyaratan higiene, dan khususnya:
a. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil
perikanan;
b. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia;
c. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan.
12. Penyimpanan hasil perikanan di atas kapal harus dijaga suhunya
sesuai dengan persyaratan, khususnya:
a. Hasil perikanan segar atau dilelehkan termasuk krustasea rebus
yang didinginkan dan produk kekerangan harus disimpan pada
suhu leleh es;
b. Hasil perikanan beku, kecuali ikan beku yang menggunakan air
garam untuk keperluan pengalengan, harus dipertahankan pada
suhu pusat -18°C atau lebih rendah, untuk semua bagian
produk dengan fluktuasi tidak lebih dari 3°C selama
pengangkutan;
13. Pelaku usaha penangkapan dan pengangkutan ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana pasal 5 hingga 9;
b. pelaku usaha Penangkapan dan pengangkutan ikan harus
mendokumentasikan GHdP yang diterapkan.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB III
TEMPAT PENDARATAN IKAN
A. Bongkar Muat Ikan
Pelaku usaha dalam melakukan bongkar muat produk perikanan di
tempat pendaratan ikan wajib:
1. Memastikan bahwa bongkar muat dan peralatan pendaratan yang
berhubungan langsung dengan produk perikanan terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan dan disanitasi serta dijaga tetap dalam
keadaan baik terpelihara atau dibersihkan;
2. Menghindari kontaminasi produk perikanan selama bongkar muat
dan pendaratan khususnya dengan cara:
a. melakukan operasi bongkar muat dan pendaratan dengan
cepat;
b. menempatkan produk perikanan dan tidak terlambat dalam
melakukan perlindungan suhu sebagaimana yang
dipersyaratkan; dan
c. tidak menggunakan peralatan dan perlakuan yang
menyebabkan hal-hal kerusakan yang tidak diinginkan pada
bagian produk perikanan.
B. Penyimpanan dan Pengangkutan
Kegiatan penyimpanan dan pengangkutan hasil perikanan dilakukan
dengan:
1. Sistem rantai dingin;
2. Menjaga suhu selama penyimpanan dan pengangkutan sesuai
dengan persyaratan yang berlaku, meliputi:
a. hasil perikanan segar atau dilelehkan termasuk crustacean rebus
yang didinginkan dan produk kekerangan harus disimpan pada
suhu leleh es;
b. hasil perikanan beku, kecuali ikan beku yang menggunakan air
garam untuk keperluan pengalengan, harus dipertahankan pada
suhu pusat -18° C atau lebih rendah, untuk semua bagian
produk dengan fluktuasi tidak lebih dari 3°C selama
pengangkutan;
c. jika produk perikanan disimpan dalam es, lelehan air es harus
tidak menggenangi produk.
3. Diangkut dari cold storage ke UPI untuk dilelehkan pada saat
penerimaan untuk tujuan preparasi dan/atau pengolahan, di mana
jarak yang ditempuh singkat, tidak melebihi 50 km atau 1 jam
perjalanan;
4. Diangkut atau disimpan dengan produk lain yang dapat
mengakibatkan kontaminasi atau mempengaruhi higiene tidak
diperkenankan kecuali, produk tersebut dikemas sedemikian rupa,
sehingga mampu melindungi produk tersebut;
5. Menggunakan kendaraan pengangkut hasil perikanan dengan
kontruksi dan dilengkapi peralatan sedemikian rupa, sehingga suhu
dapat dijaga selama pengangkutan. Jika es digunakan untuk
pendinginan maka harus ada saluran pembuangan untuk menjamin
lelehan es tidak menggenangi produk. Permukaan bagian dalam dari
alat transportasi harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak
merusak produk, di mana permukaannya harus rata, mudah
dibersihkan, dan disanitasi;
6. Menggunakan alat pengangkut yang tidak dapat mengkontaminasi
produk hasil perikanan;
7. Tidak boleh diangkut dengan menggunakan kendaraan atau wadah
yang tidak bersih kecuali disanitasi terlebih dahulu;
8. Persyaratan pengangkutan hasil perikanan yang dipasarkan dalam
keadaan hidup harus tidak berpengaruh buruk terhadap hasil
perikanan tersebut;
9. Pelaku usaha penyimpanan dan pengangkutan Ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 8;
b. pelaku usaha penyimpanan dan pengangkutan Ikan harus
menerapkan dan mendokumentasikan GHdP.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB IV
TEMPAT PELELANGAN IKAN
A. Persyaratan Tempat Pelelangan Ikan
Persyaratan Tempat Pelelangan Ikan meliputi:
1. Tempat pelelangan ikan harus memenuhi persyaratan:
a. terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk
dibersihkan;
b. mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan
disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan
mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higiene;
c. dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan
dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan
harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering
sekali pakai;
d. mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam
pengawasan hasil perikanan;
e. kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat
mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada
dalam Tempat Pelelangan Ikan/pasar grosir;
f. dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan;
wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air
laut bersih;
g. dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah,
makan dan minum, dan diletakkan di tempat yang mudah
dilihat dengan jelas;
h. mempunyai fasilitas pasokan air bersih dan atau air laut bersih
yang cukup;
i. mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air
untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk
dimakan;
2. Tempat pelelangan ikan harus memenuhi persyaratan higiene dan
penerapan sistem rantai dingin;
3. Pelaku usaha perikanan yang bertanggungjawab pada pelelangan
dan pasar induk atau pasar lainnya yang memaparkan produk,
harus memenuhi persyaratan berikut:
a. harus mempunyai fasilitas penyimpanan dingin yang dapat
dikunci untuk menyimpan produk perikanan dan mempunyai
fasilitas wadah untuk produk yang tidak layak konsumsi pada
tempat yang diberi tanda;
b. mempunyai tempat khusus untuk unit pengendalian kemanan
hasil perikanan.
4. Pada saat memaparkan atau menyimpan hasil perikanan:
a. peralatan harus tidak digunakan untuk tujuan lain;
b. kendaraan yang mengeluarkan asap yang dapat mempengaruhi
produk tidak boleh mengkontaminasi ruangan peralatan
tersebut;
c. personil yang mempunyai akses ke ruang peralatan tidak
diperbolehkan memasukkan binatang lain, dan
d. peralatan harus memungkinkan dilakukan pengendalian oleh
Otoritas Kompeten.
5. Jika pendinginan tidak memungkinkan dilakukan di atas kapal, ikan
segar harus didinginkan sesegera mungkin dan disimpan dengan
susu mendekati suhu leleh es;
6. Pelaku usaha perikanan harus bekerjasama dengan otoritas
kompeten sehingga memungkinkan petugas pengawas mutu dapat
melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
7. Tempat Pelelangan Ikan harus:
a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana pada angka 1 hingga 6;
b. tempat Pelelangan Ikan harus menerapkan dan
mendokumentasikan GHdP.
c. menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga
tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode
waktu tertentu.
BAB V
UNIT PENGOLAHAN IKAN
A. Pelaku Usaha Perikanan
Pelaku usaha perikanan pada tahap pengolahan:
1. Harus memenuhi persyaratan umum hygiene sesuai dengan
peraturan yang berlaku;
2. Harus mengadopsi dan menerapkan persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai dengan kriteria mikrobiologi, kimia, dan fisik untuk hasil
perikanan;
b. prosedur yang diperlukan untuk mencapai target yang
ditetapkan oleh peraturan ini;
c. sesuai dengan persyaratan pengendalian suhu pada hasil
perikanan;
d. menjaga rantai dingin hasil perikanan;
e. pengambilan contoh dan pengujian.
3. Harus memenuhi kriteria, persyaratan dan target pada butir 2 harus
diadopsi berdasarkan standar dan peraturan spesifik produk yang
sesuai;
4. Bila peraturan yang ada tidak spesifik dan tidak mencakup suatu
produk perikanan, maka pelaku usaha dapat menggunakan standar
internasional, atau metode yang dikembangkan sendiri dengan
validasi ilmiahnya sesuai dengan standar atau pedoman
internasional;
5. a. membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 4;
b. mendokumentasikan sistem manajemen keamanan pangannya
yang mencakup GMP, SSOP dan panduan mutu rencana HACCP
yang diterapkan.
c. menjamin bahwa dokumen panduan mutu dan dokumen lainnya
yang dikembangkan selalu dijaga tetap terkini;
d. memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode waktu
tertentu.
B. Persyaratan Bangunan, Peralatan dan Karyawan
Persyaratan Bangunan, Peralatan dan Karyawan yang meliputi:
1. Unit Pengolahan Ikan (UPI) harus memenuhi persyaratan fasilitas
minimal sebagai berikut:
a. ruang kerja yang cukup untuk melakukan kegiatan harus
mempunyai kondisi yang higiene;
b. bangunan dan peralatan harus mampu menghindari kontaminasi
terhadap produk dan terpisah antara bagian yang bersih dan
yang terkontaminasi.
2. Unit pengolahan harus dibangun di lokasi yang tidak tercemar dan
yang menjamin tersedianya ikan yang bermutu baik;
3. Bangunan unit pengolahan dan sekitarnya harus dirancang dan
ditata dengan konstruksi sedemikian rupa sehingga memenuhi
persyaratan sanitasi;
4. Setiap unit pengolahan harus memiliki laboratorium yang dapat
digunakan untuk menunjang pengendalian mutu secara mandiri;
5. Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata
sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang
menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang
dan mudah dibersihkan;
6. Peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan
ikan yang diolah harus terbuat dari bahan tahan karat, tidak
menyerap air, mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan
kontaminasi sesuatu apapun terhadap bahan baku yang sedang
diolah maupun produk akhir serta dirancang sesuai persyaratan
sanitasi;
7. Peralatan dan perlengkapan yang dipakai untuk menangani bahan
bukan makanan atau bahan yang dapat menyebabkan kontaminasi
baik secara langsung maupun tidak langsung, harus diberi tanda
dan dipisahkan dengan jelas supaya tidak dipergunakan untuk
menangani ikan, bahan penolong, bahan tambahan makanan serta
produk akhir;
8. Bangunan unit pengolahan, perlengkapan, peralatan serta semua
sarana fisik yang digunakan harus dirawat, dibersihkan dan
dipelihara secara saniter dengan tertib dan teratur;
9. Pembuangan kotoran atau limbah (padat, cair atau gas) dari
lingkungan kerja harus dilakukan dengan sempurna dan memenuhi
ketentuan yang berlaku;
10. Pestisida, fumigan, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam
ruangan terpisah dan hanya ditangani di bawah pengawasan
petugas yang mengetahui tentang bahayanya untuk menghindari
kontaminasi terhadap produk dan penggunaannya harus dalam
batas-batas yang tidak membahayakan kesehatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan;
11. Tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah masuknya
orang yang berpenyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit
menular, serangga, tikus, burung dan hama lainnya serta binatang
peliharaan ke dalam halaman gedung dan ruang pengolahan;
12. Pada setiap pintu masuk ruang pengolahan dan tempat-tempat
tertentu harus disediakan perlengkapan pencuci-hama;
13. Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita
penyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit menular;
14. Kesehatan para karyawan harus diperiksa secara periodik untuk
menghindarkan penularan penyakit baik terhadap produk maupun
karyawan lainnya;
15. Setiap karyawan harus dilengkapi dengan pakaian dan perlengkapan
kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.
C. Penanganan Hasil Perikanan
Penanganan Hasil Perikanan harus memenuhi:
1. Persyaratan Produk Segar
a. Produk segar yang masih menunggu untuk ditangani, dikemas
dan dikirim, harus diberi es dan disimpan di ruang dingin.
Penambahan es harus dilakukan sesering mungkin ; es yang
digunakan dengan atau tanpa garam harus terbuat dari air
minum atau air laut bersih dan ditampung dalam wadah yang
khusus dengan kondisi yang higienis; wadah penampungan
harus terjaga kebersihannya;
b. Pemfiletan dan pemotongan harus dilakukan sedemikian rupa
untuk mencegah kontaminasi atau pembusukan dan dilakukan
pada tempat yang terpisah dari tempat pemotongan kepala dan
pembuangan isi perut; filet dan potongan ikan tidak boleh
dibiarkan terlalu lama di meja kerja dan harus dikemas untuk
menghindari kontaminasi. Filet dan potongan ikan yang akan
dijual dalam keadaan segar harus segera didinginkan;
c. Isi perut dan bagian-bagian yang dapat membahayakan
kesehatan manusia harus dipisahkan dari produk yang akan
dikonsumsi manusia;
d. Wadah yang digunakan untuk mengangkut atau menyimpan
produk segar harus dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu melindungi atau mencegah terjadinya kontaminasi.
Kondisi wadah harus hygienis dan dilengkapi dengan lubang
pembuangan air lelehan;
e. Wadah untuk penampungan limbah harus tidak bocor dan
tertutup serta mudah dibersihkan dan disanitasi. Limbah tidak
boleh dibiarkan menumpuk di ruang pengolahan dan segera
diangkat setelah penuh atau setidaknya setiap selesai bekerja;
f. Tempat penampungan sampah harus selalu dibersihkan dan
disanitasi sebagaimana mestinya, sehingga tidak menjadi
sumber kontaminasi terhadap UPI atau lingkungan.
2. Persyaratan Produk Beku
a. UPI harus mempunyai:
1) Sarana pembekuan yang mampu menurunkan suhu secara
cepat sesuai persyaratan;
2) Sarana pembekuan (penyimpanan beku) yang mampu
menjaga suhu sehingga tidak terjadi peningkatan suhu
melebihi persyaratan.
b. Apabila karena alasan teknis dipersyaratkan suhu yang lebih
tinggi, misalnya dengan menggunakan pembekuan air garam
untuk tujuan pengalengan diperbolehkan sepanjang tidak lebih
tinggi dari -9°C;
c. Produk segar yang dibekukan dengan cepat harus memenuhi
persyaratan khusus struktur dan peralatan kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan;
d. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan alat pencatat
suhu yang mudah dibaca, sensor suhu harus diletakkan jauh
dari sumber/mesin pendingin atau di tempat yang suhunya
paling tinggi di dalam tempat penyimpanan tersebut. Data
pencatatan suhu harus tersedia untuk pemeriksaan oleh Instansi
berwenang sekurang-kurangya selama masa penyimpanan
produk tersebut.
3. Produk yang Dilelehkan
a. UPI yang melakukan pelelehan harus memiliki peralatan sebagai
berikut:
1) Pelelehan produk harus dilakukan secara higienis, terhindar
dari kontaminasi dan pembuangan air lelehan yang
memadai. Selama pelelehan suhu produk tidak boleh naik
secara berlebihan.
2) Setelah dilelehkan produk harus ditangani sesuai
persyaratan dan pengolahannya tidak boleh ditunda.
4. Persyaratan Produk Olahan
a. Produk segar, beku, dan yang telah dilelehkan harus memenuhi
persyaratan hygiene.
b. Apabila perlakuan pengolahan dilakukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri/mikro-organisme pathogen atau
merupakan faktor penting untuk pengawetan produk tersebut,
harus ada pengakuan secara ilmiah dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c. Penanggung jawab pengolahan harus menyimpan catatan
mengenai pengolahan yang telah dilakukan. Catatan tersebut
meliputi : pekerja, waktu dan suhu pemanasan, kadar garam,
pH, kadar air dll, harus dimonitor dan dicatat serta disimpan
selama/sesuai masa/daya simpan produk tersebut (dan tersedia
untuk Instansi berwenang).
d. Produk yang diawetkan untuk periode tertentu/terbatas, dengan
perlakuan seperti penggaraman, pengasapan, pengeringan
pengacaran harus dijelaskan persyaratan penyimpanannya pada
kemasan.
5. Pengalengan:
a. Dalam hal produk akan diproses untuk sterilisasi dalam wadah
tahan panas, maka:
1) Air yang digunakan untuk pencucian kaleng harus
memenuhi persyaratan air minum;
2) Proses pengolahan atau pemanasan harus sesuai; misalnya
yang berkaitan dengan kriteria utama seperti waktu
pemanasan, suhu, pengisian, ukuran kaleng dan lain-lain;
catatan harus disimpan. Suhu pemanasan harus mampu
membunuh bakteri pathogen dan memusnahkan sporanya.
Peralatan pemanasan harus dilengkapi dengan alat kontrol
untuk memastikan peralatan tersebut berfungsi
sebagaimana mestinya. Pendinginan kaleng setelah
pemanasan/perebusan harus menggunakan air minum
tanpa adanya tambahan bahan kimia untuk mencegah
karatan pada peralatan atau kaleng;
3) Pengecekan selanjutnya harus dilakukan secara acak untuk
memastikan bahwa proses pemanasan/perebusan berjalan
sebagaimana mestinya;
4) Inkubasi: inkubasi harus dilakukan pada suhu 37°C selama
7 hari atau 35°C selama sepuluh hari atau dengan
kombinasi waktu dan suhu lainnya yang sesuai;
5) Pengujian secara mikrobiologi terhadap produk dan kaleng
dilakukan di laboratorium milik UPI atau laboratorium lain
yang diakui.
b. Sampel harus diambil setiap hari produksi dengan interval waktu
yang telah ditetapkan sesuai dengan perencanaan pengambilan
sampel, sehingga harus tersedia peralatan yang memadai untuk
pengujian kaleng;
c. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kaleng tidak rusak;
d. Pemanasan semua kaleng yang telah melalui perlakuan
pemanasan/sterilisasi sesuai persyaratan sesuai Standar
Nasional Indonesia (SNI);
6. Pengasapan
a. Pengasapan harus dilakukan pada tempat tertentu yang
dilengkapi peralatan khusus dengan sistem untuk mencegah
dampak atau pengaruh asap dan panas ke ruang pengolahan
lainnya;
b. Bahan yang digunakan untuk menghasilkan asap untuk
pengasapan ikan, harus disimpan terpisah dari tempat
pengasapan dan digunakan sedemikian rupa sehingga tidak
mengkontaminasi produk;
c. Bahan yang digunakan untuk menghasilkan asap melalui
pembakaran kayu yang telah dicat, dipernis, dilem, atau telah
diawetkan dengan bahan kimia tertentu tidak diperbolehkan;
d. Sesudah pengasapan dan sebelum dikemas, produk segera
didinginkan pada suhu yang dipersyaratkan.
7. Penggaraman
a. Kegiatan penggaraman harus dilakukan pada tempat
khusus/terpisah dari ruang proses lainnya;
b. Garam yang digunakan untuk penggaraman harus bersih dan
disimpan sedemikian rupa untuk menghindari kontaminasi;
garam yang telah digunakan tidak boleh digunakan kembali.
c. Wadah yang digunakan untuk penggaraman harus dirancang
sedemikian rupa untuk melindungi dan menghindari kontaminasi
selama penggaraman;
d. Wadah atau tempat yang digunakan untuk penggaraman harus
dibersihkan sebelum digunakan.
8. Produk Crustacea dan Kekerangan yang dimasak
a. Setiap pemasakan harus diikuti dengan pendinginan cepat, air
yang digunakan untuk pemasakan harus air minum atau air laut
bersih. Apabila tidak menggunakan metode pengawetan lain,
pendinginan harus dilakukan terus sampai suhunya mendekati
titik leleh es;
b. Pembuangan kulit atau pengambilan daging harus dilakukan
secara higienis untuk mencegah kontaminasi produk. Apabila
dilakukan dengan menggunakan tangan, pekerja harus mencuci
tangan dan semua peralatan harus dibersihkan dengan baik.
Apabila menggunakan mesin, harus dibersihkan secara teratur
dan disanitasi setiap selesai bekerja;
c. Setiap UPI, secara teratur harus melakukan uji mikrobiologi
terhadap hasil produksinya sesuai dengan standar berlaku.
9. Pemisahan daging ikan secara mekanis
a. Segera dilakukan setelah penyiangan dan pemfiletan daging.
Apabila menggunakan bahan baku ikan utuh, maka isi perut
harus dibuang dan dicuci sebelum dilakukan pemisahan daging;
b. Peralatan harus dibersihkan sesuai jadwal setidaknya setiap 2
jam;
c. setelah pemisahan daging ikan harus segera dibekukan.
10. Persyaratan Mengenai Parasit
a. Selama produksi dan sebelum produk diedarkan untuk konsumsi
manusia, ikan dan produk perikanan harus diperiksa secara
visual untuk mendeteksi dan membuang parasit yang terlihat.
Ikan atau bagian ikan yang terkena parasit, tidak boleh
dipasarkan untuk konsumsi manusia;
b. Ikan dan produk perikanan yang akan dikonsumsi mentah harus
dibekukan pada suhu tidak lebih dari -20°C selama tidak kurang
dari 24 jam;
c. Produk perikanan yang diproses dengan pengasapan harus
dilakukan pengasapan dingin pada suhu kurang dari 60°C;
d. Perlakuan atau pengolahan dengan pengacaran dan/atau
penggaraman terhadap produk perikanan tidak cukup mampu
memusnahkan Larva nematode tidak boleh dipasarkan.
D. Pengepakan dan Pelabelan
1. Pengepakan harus dilakukan pada kondisi yang higienis untuk
menghindari kontaminasi pada hasil perikanan;
2. Bahan pengepak dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil
perikanan harus memenuhi persyaratan higiene, dan khususnya:
a. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil
perikanan;
b. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia;
c. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan.
3. Dengan pengecualian terhadap wadah tertentu yang terbuat dari
bahan yang kedap air, halus, dan tahan karat yang mudah
dibersihkan dan disanitasi, yang mungkin digunakan kembali setelah
pencucian dan sanitasi, bahan pengepakan tidak boleh digunakan
kembali. Bahan pengepakan yang digunakan untuk produk segar
yang di-es harus dilengkapi dengan saluran pembuangan untuk
lelehan air;
4. Bahan pengepak yang tidak digunakan harus disimpan dalam
bangunan yang jauh dari tempat produksi dan terlindung dari debu
dan kontaminasi;
5. Untuk tujuan pengawasan kemamputelusuran produk dapat
digunakan label (untuk produk yang dikemas) atau dokumen yang
menyertai (untuk produk yang tidak dikemas). Informasi tersebut
harus mencakup:
a. Negara asal yang dapat ditulis secara penuh atau disingkat
dengan menggunakan huruf besar;
b. Identifikasi nomor pengesahan UPI, dan kapal penangkap dan
atau pengangkut ikan yang melakukan pembekuan.
E. HACCP
1. Setiap unit pengolahan wajib menerapkan sistem jaminan keamanan
hasil perikanan berdasarkan konsepsi yang diverifikasi oleh
inspektur dari Otoritas Kompeten.
2. Prinsip HACCP pada angka 1 terdiri atas:
a. Identifikasi bahaya yang harus dicegah, dieliminasi atau
dikurangi hingga batas diterima;
b. Identifikasi Titik-titik kritis pengendalian (CCP) pada setiap
tahap;
c. Menetapkan batas kritis pada setiap CCP yang memisahkan
antara diterima dengan tidak diterima untuk pencegahan,
eliminasi atau reduksi bahaya yang telah diidentifikasi;
d. Menetapkan dan menerapkan prosedur monitoring yang efektif
pada setiap CCP;
e. Manetapkan tindakan koreksi ketika monitoring mengindikasikan
CCP tidak terkendali;
f. Mengembangkan prosedur verifikasi yang dilakukan secara
regular, untuk memverifikasi bahwa tindakan yang ditetapkan
pada butir a hingga e berjalan dengan efektif; dan
g. Mengembangkan dokumen dan rekaman untuk
mndemonstrasikan penerapan butir a-f dilakukan secara efektif.
3. Standar yang diacu untuk penarapan system HACCP adalah nasional
dan atau standar internasional yang berlaku disamping standar
negara-negara mitra bisnis;
4. Bila dilakukan modifikasi pada produk, proses, atau tahap, pelaku
usaha harus mengkaji ulang prosedur dan melakukan perubahan
yang dilaporkan kepada otoritas kompeten untuk dilakukan
verifikasi.
5. Unit pengolahan ikan yang telah menerapkan HACCP dan sudah
diverifikasi diberikan sertifikat HACCP. Tata cara penerbitan sertifikat
HACCP diatur lebih lanjut dalam peraturan Direktur Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran.
F. Pemberian Approval
1. Instansi berwenang memberikan approval kepada UPI yang
berdasarkan hasil verifikasi memenuhi ketentuan dalam Keputusan
ini.
2. Pemberian approval sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus
diperbaharui apabila suatu UPI melakukan kegiatan selain dari yang
telah diberi approval sebelumnya.
3. Otoritas kompeten mengambil tindakan apabila UPI tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
BAB VI
SARANA DISTRIBUSI HASIL PERIKANAN
1. Sarana distribusi hasil perikanan baik yang digunakan untuk hasil
tangkapan maupun budidaya harus dijaga dalam keadaan bersih dan
baik untuk menghindari kontaminasi dan kerusakan fisik, dan didesain
agar mudah dibersihkan dan/atau disanitasi.
2. Sarana berupa kendaraan pengangkut tidak digunakan untuk tujuan lain
selain hasil perikanan yang dapat mengkontaminasi hasil perikanan.
3. Bila pada saat yang sama sarana kendaraan yang digunakan juga untuk
mengangkut produk lain, harus dipisahkan dan dijamin kebersihannya
agar tidak mengkontaminasi hasil perikanan.
4. Sarana pengangkut harus dapat melindungi produk dari resiko
penurunan mutu dan keamanan hasil perikanan.
5. Pelaku usaha distribusi hasil perikanan harus:
a. Membuktikan kepada otoritas kompeten atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana butir 1 hingga 4;
b. Pelaku usaha distribusi hasil perikanan harus mendokumentasikan
sistem manajemen keamanan pangannya yang mencakup GHdP
yang diterapkan.
c. Menjamin bahwa dokumen yang dikembangkan selalu dijaga tetap
terkini;
d. Memelihara dokumen lainnya dan rekaman hingga periode waktu
tertentu.
BAB VII
PELATIHAN
Pelaku Usaha Perikanan harus memastikan:
1. bahwa karyawan yang menangani hasil perikanan harus disupervisi dan
dan diarahkan dan/atau dilatih dalam masalah higiene pangan sesuai
dengan aktivitas ditempat kerjanya;
2. bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pemeliharaan
prosedur yang dipersyaratan dalam peraturan ini atau pedoman yang
relevan untuk diterapkan dalam program pelatihan sesuai prinsip-prinsip
HACCP; dan
3. sesuai dengan persyaratan regulasi nasional yang berkaitan dengan
program pelatihan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pangan.
BAB VIII
LAIN-LAIN
1. Produk Kekerangan yang dipasarkan dalam keadaan hidup harus
memenuhi persyaratan sesuai dengan program monitoring sanitasi
kekerangan.
2. Survey daerah pertumbuhan kekerangan dikategorikan ke dalam 4
(empat) jenis yaitu survey sanitasi menyeluruh, peninjauan kembali,
pemantauan dan evaluasi ulang.
3. Klasifikasi dan penutupan daerah pertumbuhan:
a. Daerah pertumbuhan kekerangan dalam sistem sanitasi kekerangan
diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kelas meliputi daerah yang
diijinkan (kelas A), daerah yang diijinkan dengan kondisi tertentu
(kelas B), daerah yang terbatas (kelas C).
b. Masing-masing kelas berhubungan dengan mutu mikrobiologi
perairan dan tingkat serta potensi terjadinya pencemaran baik
alamiah maupun yang berasal dari aktifitas disekitarnya.
c. Penutupan daerah pertumbuhan dapat dilakukan apabila mutu
sanitasi perairan didaerah yang diijinkan berubah secara signifikan
dengan perubahan sumber-sumber polusi sehingga tidak memenuhi
persyaratan sanitasi.
4. Penanganan Saat Panen
a. kekerangan yang baru ditangkap harus segera dicuci untuk
menghilangkan lumpur dan kotoran lainnya. Apabila hal ini tidak
bisa dilakukan, maka pencucican harus segera dilakukan begitu tiba
di unit pengolahan.
b. air yang digunakan untuk mencuci kekerangan harus berasal dari
daerah pertumbuhan kekerangan yang diijinkan atau dari sumber
lain yang disetujui oleh pengawas mutu.
c. bila pencucian dilakukan di tempat pendaratan setelah ditangkap,
maka tempat tersebut harus memenuhi persyaratan sanitasi dan
hygiene yang telah ditetapkan.
5. Persyaratan Untuk Pusat Purifikasi (purification center)
a. Sebelum purifikasi dimulai, kekerangan hidup harus dicuci dan
dibersihkan dari lumpur dan tumpukan kotoran dengan air bersih.
b. Operasi system purifikasi harus mempertahankan kekerangan hidup
mampu memulai lagi dan mempertahankan aktivitas penyaringan
(filter feeding) dengan cepat, untuk menghilangkan kontaminasi
kotoran, tidak menjadi re-kontaminasi dan dapat tetap hidup
dalam kondisi yang baik setelah purifikasi untuk pembungkusan,
penyimpanan dan pengangkutan sebelum dijual di pasar.
c. Jumlah kekerangan hidup yang akan dipurifikasi tidak melebihi
kapasitas pusat purifikasi. Kekerangan hidup harus dipurifikasi
secara terus menerus untuk periode waktu yang cukup untuk
mencapai pemenuhan standard kesehatan yang diperbolehkan.
d. Apabila tanki purifikasi berisi beberapa batches kekerangan hidup,
mereka harus dari spesies yang sama dan lamanya perlakuan
(treatment) harus berdasarkan waktu yang dibutuhkan menurut
batch yang membutuhkan periode pencucian terlama.
e. Kontainer yang digunakan untuk menangani kekerangan hidup
dalam sistem purifikasi harus memiliki konstruksi yang dapat
mengalirkan air bersih mengalir masuk. Ketebalan lapisan
kekerangan hidup harus tidak memperlambat pembukaan cangkang
(shells) selama purifikasi.
f. Tidak terdapat krustacea, ikan atau hewan laut yang berada di
tangki purifikasi dimana kekerangan hidup sedang dilakukan
purifikasi.
g. Setiap paket mengandung kekerangan hidup yang telah dipurifikasi
dikirim ke pusat pengiriman (dispatch centre) harus dilengkapi
dengan label yang disertifikasi bahwa semua kekerangan hidup
tersebut telah dipurifikasi.
6. Persyaratan Pusat Pengiriman (Dispatch Center)
a. Penanganan kekerangan hidup, khususnya pengkondisian, kalibrasi,
pembungkusan dan pengemasan, harus tidak mengkontaminasi
produk atau mempengaruhi kelayakan kekerangan hidup.
b. Sebelum dikirim, cangkang kekerangan hidup harus dicuci dengan
air bersih dengan rata
c. Kekerangan hidup harus berasal dari:
1) Daerah Produksi Kelas A;
2) Daerah relaying;
3) Pusat Purifikasi; atau
4) Pusat pengiriman lainnya.
d. Persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam butir 1 dan 2 juga
diterapkan pusat pengiriman yang berada di kapal penangkap ikan.
Kekerangan Hidup yang ditangani di beberapa pusat pengiriman
harus berasal dari daerah produksi Kelas A atau daerah relaying.
7. Penyimpanan Dingin
a. Setelah proses depurasi, kekerangan hidup disimpan pada suhu
yang tidak dapat mempengaruhi mutu dan mengancam
kelangsungan hidupnya.
b. Pengemasan tidak boleh kontak langsung dengan lantai ruang
penyimpanan, tetapi harus ditempatkan pada permukaan yang lebih
tinggi dan bersih, Kebersihan ruang penyimpanan harus dipelihara
untuk mencegah kontaminasi silang dan hanya orang tertentu yang
diperbolehkan masuk ke ruang penyimpanan.
c. Perendaman kembali atau penyemprotan dengan air terhadap
kerang hidup tidak boleh dilakukan setelah dikemas atau bila telah
meninggalkan tempat pengumpulan kecuali bila dijual eceran di
tempat pengumpulan.
8. Standard Kesehatan Kekerangan Hidup
a. Sebagai tambahan untuk memastikan pemenuhan sesaui dengan
kriteria mikrobiologi yang diadopsi sesuai dengan Regulation (EC)
No 852/2004, pelaku usaha harus memastikan bahwa kekerangan
hidup ditempatkan di pasar untuk konsumsi manusia memenuhi
standard sebagaimana tertuang dalam Peraturan ini.
b. Kekerangan hidup tersebut harus memiliki karakteristik organoleptik
dengan kesegaran dan kelayakan, termasuk cangkang yang bebas
dari kotoran, adanya respon yang cukup untuk menekan (to
percussion) dan jumlah normal cairan intravalvular.
c. Kekerangan hidup tersebut harus tidak mengandung biotoxins laut
dalam jumlah total (diukur di dalam keseluruhan badan atau setiap
bagian yang dapat dimakan terpisah) yang dapat melebihi batas
berikut ini:
1) untuk paralytic shellfish poison (PSP), 800 mikrogram per
kilogram;
2) untuk amnesic shellfish poison (ASP), 20 milligram asam
domoic per kilogram;
3) untuk asam okadaic, dinophysistoxins dan pectenotoxins
bersama-sama, 160 mikrogram asam okadaic ekivalen per
kilogram;
4) untuk yessotoxins, 1 milligram of yessotoxin ekivalen per
kilogram; dan
5) untuk azaspiracids, 160 microgram azaspiracid ekivalen per
kilogram.
9. Pembungkusan dan Pengemasan Kekerangan Hidup
a. Ukuran kemasan individual konsumen kekerangan hidup harus
tertutup dan tetap tertutup setelah meninggalkan pusat pengiriman
(dispatch center) dan sampai disajikan untuk dijual ke konsumen
akhir;
b. Wadah untuk pengemasan (boks, karung) harus bersih dan dibuat
dari bahan-bahan yang diijinkan;
c. Kekerangan hidup harus dikemas pada kondisi yang higienis, sedang
bahan kemasan atau wadah harus:
1) Tidak mempengaruhi karakteristik organoleptik dari kerang
hidup,
2) Tidak menularkan bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan manusia terhadap kekerangan hidup, dan
3) Harus cukup kuat untuk memberikan perlindungan kepada
kekerangan hidup
d. Oyster harus dikemas dalam kondisi cangkang yang menghadap ke
bawah;
e. Seluruh kemasan kekerangan harus dalam keadaan tertutup dan
dipertahankan dari tempat pengumpulan sampai pengiriman ke
konsumen atau pedagang eceran.
10. Tanda, Identifikasi dan Pelabelan Kekerangan Hidup
a. Setiap partai produk harus diberi label yang menunjukan asal
bahan, tanggal penangkapan, nama produk (spesies) dan suhu
penyimpanan.
b. Label, termasuk tanda identifikasi, harus terbuat dari bahan kedap
air (waterproof).
c. Sebagai tambahan terhadap persyaratan umum untuk tanda
identifikasi, informasi berikut harus tertera pada label yaitu:
1) jenis kekerangan hidup (nama umum dan nama latin); dan
2) tanggal pengemasan, terdiri dari paling tidak hari dan bulan.
d. Para pengecer harus menjaga yang tertera dalam kemasan
kekerangan hidup yang tidak dikemas secara individual ukuran
konsumsi untuk paling tidak 60 hari setelah dipisahkan dari isi.
11. Persyaratan Lainnya
a. Para pelaku usaha yang menyimpan dan mengangkut kekerangan
hidup harus memastikan bahwa kekerangan tersebut dijaga pada
suhu yang dapat mempengaruhi keamanan pangan dalam
kelayakannya.
b. Kekerangan hidup tidak boleh dicelupkan kembali, atau disemprot
dengan air setelah kekerangan hidup tersebut telah dikemas untuk
dijual eceran dan meninggalkan pusat pengiriman (dispatch centre)
12. Persyaratan Khusus Untuk PECTINIDAE yang Dipanen di luar Klassifikasi
Daerah Produksi
a. Pectinidae tidak dijual di pasar jika produk tersebut tidak dipanen
dan ditangani sesuai dengan persyaratan hasil perikanan lainnya.
b. Pectinidae mungkin tidak dapat ditempatkan di pasar untuk
konsumsi manusia jika tidak melalui pelelangan, suatu pusat
pengiriman (a dispatch centre), atau Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Ketika bisnis tersebut menangani pectinidae, para pelaku bisnis yang
mengoperasikan UPI harus memberitahukan ke otoritas kompeten
dan sebagaimana pusat pengiriman (dispatch centres).
c. Para pelaku bisnis yang menangani pectinidae harus memenuhi
persyaratan dan sesuai:
1) dengan persyaratan hygiene hasil perikanan dan
penerapannya. Dalam hal ini, pendaftaran dokumen harus
jelas mengidikasikan lokasi daerah dimana pectinidae dipanen;
atau
2) berkaitan dengan kemasan pectinidae, dan pembungkusan
pectinidae jika pembungkusan menyediakan perlindungan
yang sama/ekivalen fungsinya dengan kemasan sesuai
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Peraturan ini
tentang tanda identitikasi dan labelling.
13. Ketertelusuran
a. Ketertelusuran hasil perikanan pada seluruh tahap produksi,
pengolahan dan distribusi harus dikembangkan.
b. Pelaku usaha hasil perikanan harus mampu mengidentifikasi personil
dan pelaku usaha yang mengirim pasokan ikan untuk tujuan
pengolahan, serta membangun system dan prosedur yang
memungkinkan otoritas kompeten dapat mendapatkan informasi bila
diperlukan.
c. Pelaku usaha pengolahan harus memberikan label atau informasi
yang mengidentifikasi ketertelusurannya sesuai dengan persyaratan
jenis produk tertentu.
BAB IX
SANKSI
Terhadap persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada
proses produksi, pengolahan dan distribusi, apabila ada penyimpangan
dalam pelaksanaannya maka dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
PENUTUP
Ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan sesuai dengan tanggung jawab dan
kewenangannya.
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
ttd
FREDDY NUMBERI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
NARMOKO PRASMADJI
Langganan:
Postingan (Atom)